Find Us On Social Media :

Cegah Global Warming, Google Gunakan AI untuk Lacak Emisi Gas Metana

By Liana Threestayanti, Kamis, 15 Februari 2024 | 14:30 WIB

Mencegah pemanasan global berkelanjutan, Google dan EDF meluncurkan proyek untuk melacak emisi gas metana di bumi.

Mencegah pemanasan global berkelanjutan, Google bermitra dengan kelompok pegiat lingkungan, Environmental Defense Fund (EDF), meluncurkan proyek untuk melacak emisi gas metana di bumi.

Proyek bernama MethaneSAT ini akan memanfaatkan satelit untuk melacak emisi gas metana (CH4) yang kerap dituding sebagai kontributor yang signifikan terhadap pemanasan global (global warming).

Gas metana merupakan salah satu gas rumah kaca yang dominan di atmosfer, selain karbon dioksida (CO2) dan dinitrogen oksida (N2O). Sebagai gambaran, potensi kekuatan dalam pemanasan global CH4 21 kali dan N2O 290 kali lebih besar dari CO2. 

MethaneSAT akan meluncur ke ruang angkasa bulan depan, sebagai satu dari sejumlah satelit yang dikerahkan untuk memantau emisi gas metana di seluruh dunia dengan menunjukkan sumber utama gas rumah kaca yang tidak terlihat tapi potensial. 

Satelit ini akan mengorbit pada ketinggian 300 mil, atau sekitar 483 kilometer dari bumi, 15 kali per hari, dan fokus pada emisi gas metana yang berasal dari fasilitas pertambangan migas.

Gas metana sebenarnya juga terbentuk akibat aktivitas pertanian dan dari sampah. Namun proyek ini berupaya mengidentifikasi kebocoran di lingkungan pertambangan karena perusahaan-perusahaan yang melakukan ekstraksi migas secara berkala akan membakar atau melepaskan gas metana.

Saat berada di orbit, software dan spektrometer MethaneSAT, yang mengukur panjang gelombang cahaya berbeda untuk mendeteksi metana, akan menunjukkan dengan tepat lokasi konsentrasi gumpalan metana serta area yang lebih luas di mana gas berdifusi dan menyebar. 

Proyek ini juga akan menggunakan algoritma deteksi gambar Google untuk membuat peta global komprehensif pertama mengenai infrastruktur industri minyak dan gas, seperti dongkrak pompa dan tangki penyimpanan, tempat kebocoran gas metana yang paling sering terjadi.

“Setelah peta-peta tersebut disusun, kami berharap masyarakat akan dapat memiliki pemahaman yang lebih baik tentang jenis mesin yang berkontribusi paling besar terhadap kebocoran metana,” kata Yael Maguire, Vice President & General Manager, Geo Sustainability Team, Google, seperti dikutip dari MIT Technology Review.

Menurut Maguire, informasi semacam ini akan sangat bernilai bagi perusahaan-perusahaan di bidang energi, para peneliti, dan sektor publik, terutama dalam upaya mengantisipasi dan mitigasi emisi gas metana.

Begitu kolaborasi MethaneSAT ini mengidentifikasi sumber kebocoran gas metana, EDF akan menggunakan Methane Alert and Response System milik PBB, untuk mengirimkan data tentang kebocoran metana kepada pemerintah dan pembuat kebijakan. Langkah ini bertujuan mendorong pihak-pihak tersebut untuk mengambil tindakan. 

Steve Hamburg, Chief Scientist and MethaneSAT project lead di EDF, mengatakan bahwa data dan gambar pertama dari satelit diharapkan tersedia pada awal musim panas atau sekitar pertengahan tahun ini.