Find Us On Social Media :

Keamanan Siber & Langkah Mendesak untuk Lindungi Proses Demokrasi

By Liana Threestayanti, Rabu, 28 Februari 2024 | 12:30 WIB

Indonesia memasuki era demokrasi digital. Namun di sisi lain ada ancaman siber. Serangan terhadap situs KPU dan Sirekap membutukan keamanan siber. (ilustrasi Pemilu)

Oleh Wisnu Nursahid, Technical General Manager Security Expert Virtus Technology  Indonesia

[Redaksi] Indonesia memasuki era demokrasi digital. Namun di sisi lain ada ancaman  siber yang mengintai. Contohnya adalah serangan terhadap situs KPU dan Sirekap yang menegaskan urgensi berupa langkah-langkah keamanan siber.

Indonesia kini tengah bertransisi menuju demokrasi digital. Namun langkah tersebut tak lepas dari kekhawatiran akan ancaman keamanan siber yang bisa mengganggu integritas proses demokrasi. Insiden baru-baru ini terkait dengan Sistem Informasi Rekapitulasi Elektronik (Sirekap) dan situs Komisi Pemilihan Umum (KPU)  menguatkan kebutuhan akan langkah-langkah keamanan siber yang kuat. 

Pada tanggal 14 Februari 2024, situs KPU mengalami gangguan yang menyebabkan  kelumpuhan selama lebih dari 24 jam setelah menghadapi serangan Distributed Denial of  Service (DDoS) yang masif. Saat proses perhitungan suara sedang berlangsung, investigasi dari Lembaga Riset Siber Indonesia CISSReC juga mengungkap potensi masalah dengan Sirekap,  termasuk kurangnya pemeriksaan kesalahan dalam input data, yang memicu dugaan  peretasan dan manipulasi hasil pemilu. 

Mendeteksi apakah sebuah situs web, baik itu milik pemerintah maupun swasta, telah diretas menjadi kunci penting untuk deteksi dini dan mitigasi risiko. Hal ini bisa dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, dari sudut pandang eksternal (pengguna), indikator yang  biasa terlihat antara lain, penonaktifan mendadak situs oleh penyedia hosting, kesulitan masuk ke dalam sistem, lamanya waktu loading, terubahnya halaman situs web menjadi page yang berbeda.  

Kedua, berdasarkan sudut pandang internal (penyedia layanan), tentunya untuk bisa tanggap terhadap  peretasan, penyedia sistem harus melengkapi dirinya dengan fungsi deteksi, seperti SIEM  (Security Information and Event Management), IDS (Intrusion Detection System), FIM (File  Integrity Monitoring), Vulnerability Assessment Report, DAM (Database Activity Monitoring),  dan semacamnya yang menunjang fungsi deteksi. 

Menanggapi tantangan ini memerlukan pendekatan multiaspek. Adalah penting bagi organisasi untuk memiliki kerangka kerja keamanan siber yang komprehensif yang mencakup: 

Menentukan apakah suatu sistem telah diretas dapat dilacak dengan mudah melalui log  sistem. Informasi ini harus diungkapkan secara terbuka agar publik dapat memahami apakah  sistem telah mengalami perubahan secara otomatis atau melalui campur tangan pihak ketiga. Langkah ini dilakukan demi menjaga akuntabilitas dari penyedia layanan.

Ketika  berbicara tentang serangan seperti DDoS, perencanaan harus dimulai sejak tahap desain dengan mempertimbangkan threat modeling. Sebagai contoh, menggunakan model STRIDE— fokus pada Spoofing, Tampering, Repudiation, Information Disclosure, Denial of Service, dan  Elevation of Privilege—akan memastikan bahwa sistem yang dibangun memiliki respons yang efektif terhadap serangan DDoS

Oleh karena itu, membangun pola pikir keamanan sejak awal  sangat penting, dan hal ini mirip dengan membangun rumah yang tahan gempa, di mana tahap desain menjadi kunci utama. 

Terkait dengan Sirekap, langkah-langkah ini perlu segera dilakukan oleh pihak KPU maupun pemerintah sehingga bisa segera meluruskan kesimpangsiuran informasi yang terus berkembang oleh berbagai pihak yang membangun opini bahwa penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024 tidak berjalan dengan  baik dan penuh kecurangan. 

Baca juga: Mengenal OCR, Teknologi yang Menjadi Sumber Masalah Sirekap KPU