Sirekap (Sistem Informasi Rekapitulasi) Pemilu 2024 yang dirilis KPU mengundang kontroversi. Pasalnya, angka perolehan suara yang terbaca di sistem berbeda jauh dengan angka perolehan yang tertera di foto. Isu kecurangan pun berhembus.
Namun jika ditilik lebih lanjut, isu utama Sirekap sebenarnya lebih ke alasan teknologi. Yaitu, pemanfaatan teknologi OCR (Optical Character Recognition) yang kurang akurat.
Ternyata kecurangan itu nyata adanya.. ini dikomplek teman sekolah anakku
— nggak_punya_nama (@sate_embek) February 14, 2024
02 : 62 suara
Hasil scan di sirekap bisa gendut jadi 900an
Innalillahi... pic.twitter.com/0Ywe3HMvl2
Secara prinsip, cara kerja Sirekap seperti ini. Setelah proses perhitungan di TPS selesai, petugas KPPS wajib memotret Formulir Model C1-KWK berisi hasil dan rincian penghitungan suara di TPS. Angka-angka yang yang ada di foto tersebut kemudian dibaca oleh Sirekap dan menjadi basis perolehan angka di sistem.
Untuk mengkonversi angka di foto ini, teknologi OCR pun digunakan.
Apa Itu OCR
Pada dasarnya, teknologi OCR berfungsi mengkonversi karakter (huruf dan angka) yang ada di dokumen analog menjadi digital. OCR bekerja dengan melakukan segmentasi karakter (alias melihat bagian mana dari dokumen yang berbentuk karakter), lalu “menebak” identitas setiap karakter tersebut.
Agar “tebakan”-nya tepat, software OCR biasanya dibekali dengan proses pembelajaran yang intensif. Contohnya, software OCR sudah belajar bentuk huruf dari berbagai jenis font. Teknologi seperti Artificial Intelligence dan machine learning juga digunakan untuk mengenali karakter yang “aneh” dan tidak ada di database yang pernah ia pelajari.
Meski sudah belajar tekun, software OCR tidaklah sempurna. Ia bisa saja salah mengenali karakter; apalagi jika kondisi dokumen jauh dari ideal. Contohnya, software OCR akan kesulitan mengenali karakter di dokumen yang penuh bercak atau tulisan tangan yang kurang jelas.
Dalam konteks Sirekap, kemungkinan kesalahan lebih tinggi lagi karena berbagai kondisi. Contohnya kemampuan kamera petugas KPPS yang berbeda. Juga kondisi cahaya saat pengambilan foto (yang kemungkinan berlangsung malam hari karena proses perhitungan yang lama). Dengan kondisi yang jauh dari ideal tersebut, kemungkinan software OCR gagal mengenali teks menjadi lebih besar.
Karena itu, menarik untuk mengetahui mengapa KPU memilih OCR untuk mengenali perolehan suara di dokumen. Sebagai perbandingan, pada pemilu lima tahun lalu, angka perolehan suara dimasukkan secara manual ke kolom yang tersedia.
Kontroversi akibat OCR
Perlu dipahami, Sirekap bukanlah metode perhitungan resmi dari pemilu. Perhitungan resmi tetap berbasis perhitungan manual yang dilakukan secara berjenjang. Posisi Sirekap mirip sebagai quick count; alat bantu untuk memudahkan publik melihat hasil perhitungan sementara.
Ironisnya, alat bantu ini justru menciptakan kontroversi baru. Beberapa pihak menuding KPU berpihak kepada satu pasangan calon. Padahal kesalahan merata di banyak dokumen. Salah satu akun di X, @gilangraka, berinisiatif mendata kesalahan angka Sirekap dan foto. Hasilnya, kesalahan hitung terjadi pada seluruh capres.
Jadi bisa dibilang, biang keladi kontroversi ini adalah software OCR yang digunakan. Dan kesalahan itu berpotensi menciptakan keriuhan yang seharusnya tidak perlu terjadi.
Teman-teman yg ingin tau ketidaksesuaian sirekap dan rekap C1 dapat merujuk ke
https://t.co/df2X37ifkvDari rekapan kawan-kawan tsb, alih-alih kecurangan, ini memang kebodohan aplikasinya. Penggelembungan suara terjadi ke ketiga paslon.
— Gilang Raka (@gilangraka) February 14, 2024
Penulis | : | Wisnu Nugroho |
Editor | : | Wisnu Nugroho |
KOMENTAR