Ia melanjutkan setelah tekanan hilang, maka cairan akan kembali mencair seperti sedia kala. Dari sini lah Veith mulai menyadari jika cara itu bisa diaplikasikan ke komponen baterai untuk membuatnya lebih aman.
Namun karakter zat tersebut tergantung dari koloid yang dicampurkan, yakni suspensi yang kecil dan partikel padat dalam cairan. Dalam implementasinya ke baterai, Vaith mengganti bahan kanji menjadi silika tersuspensi di dalam cairan elektrolit.
Dampaknya, cairan silika akan berkumpul dan memblok aliran cairan dan ion. Peneliti menggunakan partikel silika berdiameter 200 nanomater.
"Jika Anda memiliki ukuran partikel berukuran sama, partikel akan menyebar secara homogen dalam elektrolit, dan itu bisa bekerja dengan baik," papar Veith.
Sebaliknya, jika ukurannya tidak seragam, maka cairan menjadi kurang kental pada benturan dan hasilnya justru akan buruk.
Selain Veith, beberapa peneliti juga pernah mengembangkan baterai yang lebih aman menggunakan silica fume (SF) yang terdiri dari partikel silika kecil yang teracak.
Ada pula kelompok peneliti yang menemukan teknologi silika batang, namun Veith menduga partikel silika berukuran kecil lebih mudah dibuat dan memiliki respon lebih cepat serta lebih banyak memiliki daya henti terhadap benturan dibanding silica fume.
Ke depannya, Veith berencana untuk meningkatkan sistem untuk mempertahankan tingkat kepadatan baterai saat terbentur, di mana saat yang bersamaan sebagian fungsi baterai tetap bekerja.
Tim Veith awalnya hanya fokus untuk aplikasi baterai drone, namun akan merambah ke pasar otomotif lainnya. Veith memiliki rencana lebih besar lagi untuk menciptakan baterai berukuran besar yang bisa menjadi tameng peluru.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Baterai Ponsel Anti-Meledak Terinspirasi dari Eksperimen Sains Anak",