Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) sudah mengantisipasi penurunan kinerja industri seluler karena permasalahan faktor makro ekonomi yaitu pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang sempat menembus angka Rp15 ribu per-dollar AS.
"Penurunan kinerja telco sudah diantisipasi. Kami berharap penguatan nilai tukar dollar AS terhadap rupiah tidak menambah buruknya angka penurunan karena pencapaian industri di semester I 2018 sudah negative growth," kata Merza Fachys (Wakil Ketua Umum ATSI) di Jakarta.
Merza mengakui pertumbuhan bisnis pada tahun ini sangat sulit bagi industri seluler karena faktor makro ekonomi dan regulasi yang membuat pelaku usaha melakukan konsolidasi dalam strategi bisnis.
"Saya percaya masing-masing operator ada jurus selamatnya dan nanti akan more than survive dari kondisi sulit ini," ucapnya.
Pengamat pasar modal Asosiasi Analis Efek Indonesia (AAEI), Reza Priyambada menilai tantangan bagi operator ketika nilai tukar rupiah melemah adalah menghadapi biaya operasional yang tinggi.
"Terlebih kalau ada peralatan yang sistemnya sewa dan bayar dengan dolar AS. Belum lagi jika ada kewajiban bond atau lainnya dalam bentuk dolar AS. Jika simpanan dolar AS tak cukup, bisa-bisa missmatch," ucap Reza.
Ia berharap, dengan meredanya perang tarif sejak semester pertama 2018 akan membantu operator menghadapi sisa semester dua tahun ini. Ia berpendapat dengan adanya penyesuaian tarif bisa membantu mengurangi dampak perang tarif.
"Ditambah promosi yang menarik, pelanggan akan mau ambil paket yang ditawarkan operator karena merasa mendapat nilai lebih. Operator harus bisa menggenjot pendapatan dari data dan internet untuk menutupi penurunan pendapatan telepon (voice) dan SMS," imbuhnya.
Pendapatan Operator
Secara terpisah, Dian Siswarini (Presiden Direktur & CEO XL Axiata) mengungkapkan kondisi industri seluler mengalami negative growth pada semester pertama 2018, baik dari sisi pendapatan atau Earning Before Interest Tax Depreciation Amortization (EBITDA).
Selain itu, adanya perubahan perilaku pelanggan yang banyak menggunakan produk substitusi messenger sehingga menggerus pendapatan suara dan SMS.
"Secara industri, negative growth terjadi di pendapatan -12,3% dan EBITDA -24,3%," paparnya.
XL Axiata masih meraih pendapatan sebesar Rp11,06 triliun pada semester I 2018 atau naik 1 persen dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar Rp 10,95 triliun.
XL Axiata mencatat kerugian sebesar Rp82 miliar pada semester pertama 2018 berbanding terbalik dengan periode sama tahun lalu yang mencicipi laba Rp 143 miliar.
Telkom membukukan pendapatan sebesar Rp 64,37 triliun pada semester I 2018, naik tipis 0,5 persen dibanding periode sama tahun lalu sebesar Rp 64,02 triliun.
Telkom membukukan keuntungan senilai Rp8,7 triliun pada semester pertama 2018 (H1-2018) atau turun 28,1 persen dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar Rp12,1 triliun.
Sementara itu Telkomsel meraih pendapatan sebesar Rp42,7 triliun turun 7,1 persen pada semester pertama 2018, turun dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar Rp 45,99 triliun.
Laba bersih Telkomsel hanya Rp 11,7 triliun pada semester pertama 2018, anjlok 24,4 persen dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar Rp 15,5 triliun.
Indosat Ooredoo paling tertekan hanya memiliki pendapatan sebesar Rp11 triliun pada Juni 2018, anjlok 26,8 persen dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar Rp 15,11 triliun.
Pada periode semester I 2018, Indosat Ooredoo mengalami kerugian Rp693,7 miliar berbanding terbalik dengan periode sama tahun lalu yang untung Rp784,2 miliar.