Find Us On Social Media :

Tak Mampu Bayar Hutang Fintech, Perempuan ini Minum Minyak Tanah

By Adam Rizal, Selasa, 6 November 2018 | 18:00 WIB

Fintech Investment Financial Internet Technology Concept

Menjamurnya layanan keuangan berbasis teknologi (fintech) di Indonesia dengan persyaratan peminjaman uang yang mudah membuat banyak pengguna kepincut untuk mencobanya.

Sayangnya, tata kelola keuangan yang buruk dan kurang beruntunganya bisnis membuat beberapa pengguna yang gagal mengembalikan uang pinjaman. Bahkan, ada beberapa yang bunuh diri lantaran tidak mampu membayar hutang pinjaman fintech.

Perempuan berinisial L nekad mengakhiri hidupnya dengan cara meminum minyak tanah karena tidak mampu membayar hutang senilai Rp500 ribu dari sebuah aplikasi teknologi finansial (fintech).

"Awalnya tahun ini, mau puasa saya pinjam duit Rp500 ribu dari aplikasi sebut saja DR, tapi yang cair hanya Rp375 ribu. Saya harus balikin beserta bunga lebih dari Rp600 ribu dalam dua pekan," kata L di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Cikini, Jakarta Pusat.

Perempuan yang berusia 40 tahun ini sadar harus mengembalikan bunga yang cukup besar, sekitar 20 persen. Uang yang dia pinjampun tak bisa semuanya cair karena ada biaya administrasi yang cukup besar.

Namun, karena dalam keadaan terjepit, tak ada saudara yang mau membantu dan sangat butuh, dia merasa tak ada salahnya mencoba.

Awalnya, L merasa sangat terbantu dengan adanya aplikasi itu. Uang cair begitu cepat tanpa proses yang rumit. Dia hanya perlu memberikan nomor Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK) dan memfoto wajah sendiri bersama kartu identitas.

"Bunga dari tiap aplikasi tidak sama bahkan ada pula yang tidak sesuai dengan perjanjian awal. Uang yang dia putar pun mencapai puluhan juta rupiah, dari pinjaman awal yang tak sampai Rp1 juta," ucapnya.

Awal, perempuan lulusan SMK itu masih bisa menutup utangnya secara berkala. Namun lama-kelamaan, dia merasakan keuangannya semakin buruk lantaran dia membuka sembilan aplikasi pinjaman uang untuk menutup utang dari aplikasi lain.

"Jadi saya kayak gali lobang tutup lobang. Mungkin itu karmanya riba ya, uang abis dimakan jin dan setan. Tiap dari ATM, dapat uang langsung saya masukin ke aplikasi lagi," katanya sambil mulai menitikan air mata.

Debt collector mulai beringas, mulai mengirim teror melalui telepon, WhatsApp, dan SMS terus menerus. Debt collector bahkan mengizinkan dirinya menjual organ tubuh.

Tak hanya dirinya, suami juga mendapatkan teror yang sama. Akhirnya, L memutuskan untuk bunuh diri dengan meminum minyak tanah yang ada di dapur rumahnya dengan harapan saudaranya akan membantu suami dan anaknya jika dia mati.

"Nanti uang santunan kematian saya juga biar bisa untuk menutupi utang saya," imbuhnya.

Singkat cerita, L pun dirawat di rumah sakit itu merasa tak tahu harus berbuat apa untuk lepas dari jeratan bunga tak berbatas sekaligus teror para debt collector. Dia akhirnya mengadu pada LBH Jakarta untuk mendapatkan jalan keluar atas ketidakadilan yang diterimanya.

Di sana, dia bertemu dengan peminjam uang lainnya yang mengalami pelanggaran hukum dan HAM untuk kasus yang sama. S (32) misalnya, merupakan korban yang merasa data pribadi di ponselnya diambil untuk disalahgunakan.

Sementara itu, VS mengalami pelecehan seksual karena tak sanggup membayar utang. Perempuan tersebut diminta untuk melayani nafsu bejat para debt collector jika ingin terbebas dari utang.

Bunga yang Tinggi

OJK mengklaim tingkat bunga pinjaman dari perusahaan teknologi berbasis keuangan (financial technology/fintech) sudah sesuai dengan disiplin pasar (market conduct) termasuk cara penagihan pinjaman.

Sekar Putih Djarot (Juru Bicara OJK) mengatakan tingkat bunga pinjaman fintech saat ini sebenarnya sudah disepakati dan diatur oleh para pelaku yang tergabung Asosiasi Fintek Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) dan telah secara resmi terdaftar di otoritas.

"Kami menerapkan market conduct, terkait transparansi dalam rangka perlindungan konsumen. Mengenai cara penagihan dan tingkat bunga maksimal, sudah disepakati dan diatur sepenuhnya oleh AFPI yang mewadahi anggota fintech legal atau terdaftar di OJK," ujar Sekar.

Dari sisi industri, Co-Founder sekaligus Chief Executive Officer (CEO) Modalku Reynold Wijaya mengklaim tingkat bunga pinjaman yang ditawarkan sudah sesuai dengan mekanisme pasar dan indikator penentu tingkat bunga. Mulai dari penilaian (assessment), penggolongan (grading), hingga risiko. Sementara dari sisi penagihan, ia menyebut penagihan dilakukan secara wajar dan tidak pernah dikeluhkan peminjam.

"Fintech banyak sekali macamnya, bukan berarti sama. Ada yang rendah (tingkat bunganya), ada yang tinggi. Kalau untuk pinjaman produktif, kami tergolong rendah. Tingkat bunga di kisaran 12-20 persen per tahun," ucapnya.

Banyak Pegaduan

Data LBH Jakarta mencatat setidaknya lembaga telah menerima 10 pengaduan dari 283 korban pelanggaran hukum dan HAM sejak 2016. Dari aduan tersebut, beberapa laporan menyebutkan bahwa peminjam merasa data pribadinya diambil dari aplikasi. Penagihan juga dilakukan secara berlebihan oleh debt collector.

Debt collector menghantui para peminjam dengan menagih utang kepada keluarga, kolega atau siapapun yang ada di kontak ponsel peminjam. Peminjam juga merasa 'ngeri' ketika mengetahui bahwa pinjaman yang mereka lakukan ternyata bunganya tak terbatas.

"Bunga disebutkan di awal misalnya 20 persen dalam terms and condition, tetapi pada praktiknya bunga bisa bertambah suka-suka mereka saja," jelasnya.