Pada Desember 2018, Komisi Perdagangan Federal (FTC) Amerika Serikat merilis dokumen internal berisi keluhan pengguna Facebook atas dugaan pelanggaran hak privasi.
Lebih spesifik, Facebook dituduh mengumbar informasi personal pengguna yang tergabung di “Closed Group” (grup tertutup) ke pengiklan dan pihak-pihak yang seharusnya tak bisa mengakses.
Closed Group di Facebook memang kerap dijadikan wadah bagi kalangan minoritas, atau yang mengidap penyakit tertentu.
Misalnya grup orang tua dengan anak-anak transgender, pengidap HIV, atau mereka yang pernah mengalami kekerasan seksual.
Menanggapi hal ini, Facebook justru menyalahkan pengguna yang berasumsi bahwa identitas mereka bakal disamarkan (anonymous) ketika bergabung ke Closed Group.
“Kami menjunjung tinggi penggunaan identitas asli dalam interaksi di Facebook,” kata perwakilan Facebook.
“Sangat jelas bahwa semua orang yang tergabung di grup tertentu akan saling tahu identitas antar-sesama anggota,” ia menambahkan.
Hanya saja, Facebook tak menjelaskan lebih lanjut soal informasi personal pengguna di Closed Groups yang diumbar ke pengiklan.
FTC mengatakan firma asuransi atau perusahaan obat bahkan bisa saja mengakses konten yang dipertukarkan di Closed Groups.
Algoritma Facebook, menurut dokumen FTC, secara aktif mendorong pengguna bergabung ke Closed Group dengan isu-isu sensitif, misalnya diskusi terkait kondisi medis tertentu.
FTC juga mengklaim Facebook membangun narasi yang ambigu pada platformnya, sehingga pengguna bisa berpikir bahwa konten yang mereka pertukarkan terjaga kerahasiaannya dan identitas mereka anonym.
Menjembatani FTC dan Facebook, Kongres Amerika Serikat pun turun tangan. Facebook diminta menyambangi lembaga legislatif pada 1 Maret 2019 untuk memberikan penjelasan komperhensif atas isu yang beredar.
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Adam Rizal |
Editor | : | Adam Rizal |
KOMENTAR