Indonesia memiliki kemampuan meraih potensi ekonomi dari artificial intelligence (AI), tapi baru 14 persen organisasi yang telah benar-benar mengimplementasikannya.
Hasil studi Microsoft dan IDC tentang adopsi AI di Kawasan Asia Pasifik memperlihatkan bahwa Indonesia memiliki nilai perbaikan inovasi (rate of innovation improvement) sebesar 57% pada tahun 2021. Sementara secara umum nilai perbaikan inovasi di kawasan Asia Pasifik hanya sebesar 42%.
“Sedangkan untuk produktivitas karyawan di tahun yang sama, Inodnesia memiliki nilai sebesar 46% atau 10 persen lebih tinggi daripada nilai negara-negara di Asia Pasifik,” jelas Haris Izmee, Presiden Direktur Microsoft Indonesia. Selain itu, ekosistem ekonomi digital di Indonesia terus menggeliat. Hal itu terlihat dari kemuculan perusahaan-perusahaan rintisan, e-commerce, hingga UKM yang go digital.
Namun studi berjudul “Future Ready Business: Assessing Asia Pacific’s Growth Potential Through AI” menemukan bahwa hanya 14% dari 112 responden/organisasi yang sudah benar-benar mengadopsi AI sebagai bagian inti dari strategi bisnisnya; dan 42% lainnya sudah bereksperimen dengan AI.
Tiga Kendala
Lantas apa yang menjadi kendala dalam adopsi AI di perusahaan/organisasi Indonesia. “Ada tiga hambatan utama, yaitu leadership (kepemimpinan), skills (kecakapan), dan culture (budaya),” ungkap Haris. Menurut studi yang diikuti oleh 112 pemimpin bisnis dan 101 karyawan tersebut, hambatan terbesar (30%) datang dari kurangnya thought leader dan komitmen pemimpin dalam hal berinvestasi pada AI.
Selain itu, sikap skeptis para karyawan juga berpotensi menghambat adopsi AI. Mereka melihat budaya dan kelincahan perusahaan masih kurang dari aspek pemberdayaan (56%); inovasi (44%); kolaborasi (47%); dan kemampuan melakukan lebih atau going beyond (54%).
Meski ragu terhadap kemampuan perusahaan dalam mengadopsi AI, para karyawan ini justru memiliki pandangan positif terhadap dampak AI terhadap pekerjaan. Baik karyawan maupun pemimpin bisnis meyakini AI dapat membantu karyawan melakukan pekerjaannya dengan lebih baik dan mengurangi pekerjaan-pekerjaan rutin dan repetitif.
Soft Skills Lebih Utama
AI akan menciptakan jenis-jenis pekerjaan baru yang saat ini bahkan belum ada. Munculnya pekerjaan-pekerjaan baru ini tentu menuntut perusahaan dan organisasi untuk mentransformasi kecakapan para karyawan, baik yang bersifat teknis maupun nonteknis (soft skills).
Studi Microsoft dan IDC memperlihatkan bahwa para business leaders di Indonesia justru menekankan pada soft skills, seperti kecakapan analisis dan statistik; dan kewirausahaan dan kecakapan mengambil inisiatif. Kecakapan teknis yang dibutuhkan di masa depan adalah programming dan kecakapan terkait TI.
Kabar baiknya, 81% pelaku bisnis memprioritaskan pemberdayaan ketrampilan karyawan di masa depan melalui alokasi investasi. Meski ternyata, 48% pemimpin bisnis menyatakan belum menerapkan rencana terkait pengembangan ketrampilan karyawan dan 20% merasa karyawan tidak tertarik untuk mengembangkan keterampilan baru. Padahal hanya 2% dari karyawan yang menyatakan tidak tertarik.
“Bagi Microsoft, AI adalah tentang meningkatkan kecerdikan manusia, bukan menggantikan manusia secara keseluruhan,” Haris Izmee menekankan. Menurutnya, AI adalah instrumen yang akan mendorong manusia untuk mencapai hasil yang lebih baik.
Penulis | : | Liana Threestayanti |
Editor | : | Liana Threestayanti |
KOMENTAR