Saat ini, pelaksanaan e-voting sudah banyak dilakukan di berbagai negara di dunia. Berdasarkan penelitian IFES (International Foundation For Electoral Systems) yang bertajuk “International Experience with e-Voting”, tercatat lebih dari 30 negara di seluruh dunia yang menggunakan sistem e-Voting.
Indonesia sendiri termasuk negara yang telah melakukan e-voting, meski terbatas pada skala pemilihan kepala desa. Tercatat sudah ada 891 pemilihan kepala daerah yang menggunakan sistem e-voting. Sistem e-voting ini sendiri dirancang oleh BPPT dengan bekerjasama dengan salah satu BUMN, yaitu PT. Inti.
BACA JUGA: Inilah prosedur e-voting versi BPPT
Akan tetapi, pelaksanaan e-voting di Indonesia memiliki perbedaan mendasar dibanding e-voting di luar negeri, utamanya di negara Eropa. Salah satunya, mesin pemilihan suara di Indonesia tidak terhubung ke internet alias offline. “Kalau di 26 negara yang telah menyelenggarakan e-voting, semuanya terkoneksi ke internet” ungkap Andrari Grahitandaru (Kepala Sistem Pemilu Elektronik BPPT).
Alasan utama BPPT merancang e-voting di Indonesia secara offline adalah untuk keamanan. Karena tidak terhubung ke internet, data yang masuk ke mesin pemungutan suara akan terjaga integritasnya. Mereka yang bermaksud jahat harus mengakses langsung mesin tersebut, yang akan sangat sulit mengingat adanya saksi dan calon pemilih.
Setelah proses pemungutan suara selesai, mesin pemungutan suara akan mencetak hasil perhitungan suara. Hasil cetak ini akan menjadi bukti petugas KPPS maupun saksi terhadap hasil di TPS tersebut. Jika semua pihak sudah setuju atas hasil tersebut, baru mesin pemungutan suara dihubungkan ke internet. Tujuannya untuk mengirimkan hasil perhitungan suara yang menjadi landasan KPU melakukan real count.
Pengiriman hasil perhitungan suara juga terbilang aman karena melalui proses enkripsi. “Proses pengiriman suara telah memenuhi ISO 27001 [yang mengatur standar keamanan data elektronik]” ungkap Andrari.
Ada Bukti Fisik
Saat menyusun RUU Pemilu, Pansus DPR pernah memanggil BPPT dan PT. Inti untuk mempresentasikan pelaksanaan e-voting. Namun setelah melakukan studi banding ke Jerman dan Meksiko, pilihan e-voting tidak lagi menjadi opsi. Alasannya, Pansus melihat pentingnya bukti fisik sebagai penentu hasil pemilu.
Menurut Andrari, keputusan Pansus mempelajari e-voting di dua negara tersebut kurang tepat. Pasalnya, kedua negara tersebut sepenuhnya mengadopsi e-voting secara digital tanpa ada bukti fisik. Sementara e-voting versi BPPT memiliki bukti fisik yang dibutuhkan.
Setelah pemilih melakukan pilihan, sistem akan mencetak bukti fisik dari pilihan pemilih. Bukti fisik ini kemudian dimasukkan ke Kotak Audit yang ada di TPS; mirip seperti kotak suara yang digunakan saat ini. Bukti fisik di Kotak Audit ini akan menjadi penentu jika ada perselisihan soal hasil perhitungan suara.
“Jadi, sistem e-voting sebenarnya tetap memiliki bukti fisik” ungkap Andrari.
Penulis | : | Wisnu Nugroho |
Editor | : | Wisnu Nugroho |
KOMENTAR