“Gerakan Menuju 100 Smart City” yang merupakan program Pemerintah RI dan digagas oleh Kementerian Kominfo (Kementerian Komunikasi dan Informatika) kembali bergulir.
Di tahun 2019 ini, telah terpilih 25 kota/kabupaten yang akan siap mengikuti bimbingan teknis penyusunan masterplan smart city di daerahnya masing-masing.
Terpilihnya 25 kota/kabupaten ini lantas melengkapi 75 kota/kabupaten yang sebelumnya sudah terpilih di tahun 2017 dan 2018 lalu.
Dalam sesi diskusi di sela-sela acara pembukaan Gerakan Menuju 100 Smart City 2019 yang digelar hari ini (15/05/19) di Hotel Santika Premiere Hayam Wuruk, Jakarta, diungkapkan bahwa kunci utama untuk mewujudkan smart city di suatu daerah harus didasari dengan memiliki masterplan yang tersusun baik.
Samuel Abrijani, Dirjen Aptika (Direktur Jenderal Aplikasi Informatika), mengatakan “Membangun smart city tidaklah cukup dengan hanya 5 sampai 10 tahun saja. Ini adalah pembangunan berkelanjutan. Akan tetapi, jika ditanamkan dengan mainset yang ingin berubah untuk maju dan masterplan yang sudah terencana maka bisa mewujudkan smart city.”
Sementara itu, Intan Abdams Katoppo, Chief Business Officer Indosat Ooredoo, mengatakan "Masterplan mampu menjawab masalah unik ditiap daerah. Karena seperti diketahui bahwa setiap daerah itu memiliki tantangan maupun potensi yang berbeda. Jadi harus ada masterplan yang khusus untuk menjawab masalah tersebut,"
Tantangan yang Dihadapi
Dalam mewujudkan smart city, tantangan yang biasanya dihadapi oleh sebuah daerah yakni terkait anggaran dan SDM (Sumber Daya Manusia).
“Program smart city ini sebenarnya juga membantu daerah untuk membuat aspek anggaran ini. Nantinya, akan tetap disesuaikan dengan anggaran yang dimiliki oleh setiap daerah. Makanya, kami juga ketika memilih 100 kota/kabupaten ini sudah perhatikan mengenai kondisi keuangan dan melihat daerah tersebut mampu mengikuti program ini,” ujar Samuel.
Terkait mengenai anggaran ini, Arya Damar, Direktur Utama Lintasarta, mengatakan “Kalo dilihat soal anggaran itu setiap daerah mengadakan smart city sendiri-sendiri. Kita lihat juga setiap daerah di Indonesia potensi pada umumnya di bidang industri, pariwisata, pertanian, dan bahkan bisnis proses di setiap daerah ini hampir sama.”
“Ketika sebuah daerah ingin membuat aplikasi misalnya. Mungkin suatu daerah sudah punya aplikasi A, bisa share ke daerah lain. Kalo buat aplikasi sendiri itu kan lumayan mahal sekali. Dengan meng-share, mereka nggak perlu lagi ada anggaran baru. Jadi, sharing rame-rame seperti ini lebih murah dibandingkan setiap daerah mengadakan sendiri-sendiri yang padahal proses kerjanya sama juga,” jelas Arya.
Sedangkan terkait SDM, menurut Arya ada dua hal yang bisa manfaatkan untuk mengatasi tantangan ini. Pertama, menggunakan cara internal yang di mana menerapkan konsep magang yakni dengan menempatkan SDM dari suatu pemerintah daerah ke pemerintah daerah lain yang sudah menjalankan smart city seperti Jakarta, Tangerang Selatan, Surabaya, dan lainnya.
Kedua, menggunakan cara eksternal yakni bekerjasama dengan partner terkait smart city yang dapat meningkatkan kualitas SDM di suatu daerah tersebut.
Dalam diskusi yang berlangsung selama setengah jam tersebut, diungkap pula bahwa salah satu kunci sukses dalam pembangunan smart city adalah dengan melibatkan masyarakat.
Oleh karena itu, literasi baik digital maupun non digital merupakan poin penting yang juga harus diperhatikan pemerintah daerah yang mengikuti program ini.
“Penerapan teknologi pada masyarakat saya rasa untuk awalnya memang tidak akan pernah mudah. Apalagi untuk masyarakat yang belum terbiasa menggunakan teknologi dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, di era digital dan milenial saat ini, cepat atau lambat masyarakat Indonesia akan mengadopsi teknologi untuk membantu mempermudah kehidupannya,” ucap Willy Anwar, Public Sector Sales Director SAP Indonesia.
Penulis | : | Rafki Fachrizal |
Editor | : | Rafki Fachrizal |
KOMENTAR