Setelah tahun lalu menjadi korban, separuh dari perusahaan-perusahaan di Asia Pasifik berniat mengadopsi teknologi baru dan tak segan-segan merogoh kocek hingga 47% lebih banyak untuk memerangi kejahatan keuangan.
Refinitiv, satu perusahaan penyedia data dan infrastruktur jasa keuangan, baru-baru ini menerbitkan sebuah laporan tentang kejahatan keuangan (financial crime). Dalam laporan berjudul “The Innovation and The Fight Against Financial Crime: How Data And Technology Can Turn The Tide” tersebut terungkap bahwa 75% organisasi di Asia Pasifik telah menjadi korban kejahatan keuangan dalam kurun waktu 12 bulan terakhir. Angka tersebut sedikit lebih tinggi dari presentase global yang hanya 72%.
Jumlah korban yang cukup banyak itu akibat longgarnya proses due diligence yang dilakukan perusahaan-perusahaan tersebut ketika ada pelanggan, pemasok, dan mitra baru yang bergabung dengan mereka.
Walhasil, 60% dari responden berniat mengadopsi teknologi baru yang dapat membantu mereka memerangi kejahatan keuangan. Dan pilihan teratas responden jatuh pada teknologi serta data berbasis cloud. Pilihan berikutnya adalah tool artificial intelligence (AI) dan machine learning.
Menurut laporan tersebut, 72% dari responden di Asia Pasifk masih sibuk bergumul dengan teknologi-teknologi baru tersebut. Sementara 52% responden di China dan 84% di India mengungkapkan kesulitan yang sama..
Dalam laporannya di tahun 2018, Refinitiv memaparkan bahwa akibat kejahatan keuangan, perusahaan di Asia Pasifik kehilangan aggregate turnover sebesar US$ 1,45 triliun. Tahun ini, kerugian yang harus ditanggung perusahaan diprediksi Refinitiv akan jauh lebih besar lagi.
Tidak hanya mengadopsi teknologi baru, perusahaan di Asia Pasifik bersedia merogoh kocek rata-rata 47% lebih besar dari sebelumnya untuk melakukan mitigasi terhadap krisis akibat kejahatan keuangan.
Peningkatan investasi ini memperlihatkan adanya prioritas yang diberikan organisasi terhadap kejahatan keuangan di tahun ini dan mencerminkan besarnya tekanan yang dialami responden untuk lebih inovatif dalam hal menurunkan risiko dan biaya.
“Dengan terdampaknya tiga perempat dari perusaahan-perusahaan di Asia Pasifik oleh kejahatan keuangan di tahun lalu, akan ada lebih banyak investasi digelontorkan untuk teknologi dan proses. Kemajuan di bidang AI, machine learning, dan cloud computing akan meningkatkan kemampuan perusahaan menganlisis data secara real time, meringkas proses, misalnya proses Know Your Customer (KYC), dan mengungkap aktivitas yang sebelumnya tak terdeteksi,” ujar Alfred Lee, Managing Director, Asia Pacific, Refinitiv.
Alfred juga berharap perusahaan memerhatikan isu-isu pada proses due diligence yang malah bisa menciptakan lingkungan yang menyuburkan aktivitas kriminal. Misalnya, hanya separuh dari mitra dan pelanggan eksternal yang dikenai proses due diligence, padahal ini berpotensi menjadi pemicu terjadinya kejahatan keuangan.
Selain teknologi, Refinitiv juga melihat pentingnya kolaborasi—sebagai salah satu bentuk inovasi—untuk mengatasi kejahatan keuangan. Lebih dari 8 dari 10 responden (81%) di seluruh dunia mengatakan bahwa di negara mereka ada semacam kemitraan atau gugus tugas untuk memerangi kejahatan keuangan. Di Asia Pasifik, angkanya bahkan mencapai 85%. Dan 86% responden global dan 88% responden di Asia Pasifik percaya bahwa manfaat berbagi informasi dalam sebuah kemitraan akan mengalahkan risiko-risiko apapun yang mungkin terjadi.
Penulis | : | Liana Threestayanti |
Editor | : | Liana Threestayanti |
KOMENTAR