Saat ini, hidup kita praktis tidak lepas dari fungsi GPS (Global Positioning System). Saat kita memesan ojek online, misalnya, driver mengetahui posisi kita berbekal fungsi GPS. Saat mencari jalan alternatif menembus macetnya lalu lintas, kita juga memanfaatkan GPS. Pendek kata, GPS banyak berperan di aktivitas manusia modern.
Kita bisa memanfaatkan GPS karena ada chip receiver atau penerima di dalam smartphone atau perangkat elektronik lainnya. Chip ini kemudian menerima informasi posisi kita secara tiga dimensi yang berfungsi menangkap sinyal dari satelit. Ada 24 satelit yang melayang di angkasa untuk mencakup setiap jengkal posisi di muka bumi.
Pengoperasian satelit dan teknologi pendukung tentu saja membutuhkan biaya. Mungkin banyak yang tidak tahu, kalau seluruh biaya tersebut ditanggung oleh Pemerintah AS melalui pos Departemen Pertahanan mereka. Nilainya tidak sedikit. Jika mengacu informasi resmi, Pemerintah AS mengeluarkan dana US$1,42 miliar untuk peremajaan dan operasional GPS di tahun 2019 ini. Jika dihitung, artinya Pemerintah AS mengeluarkan dana Rp.54,5 miliar per hari untuk memastikan teknologi GPS berfungsi.
Awalnya untuk Militer
Anda mungkin bertanya, mengapa Pemerintah AS “rela” mengeluarkan biaya sebesar itu untuk layanan gratis yang bisa digunakan semua orang? Alasan utama, teknologi GPS memang milik mereka. Sejak tahun 1973, Pemerintah AS mengembangkan teknologi GPS untuk menjawab kebutuhan navigasi mereka. Namun di awal implementasinya, teknologi GPS hanya digunakan di lingkungan internal militer AS.
Kebijakan itu berubah pada tahun 1983 setelah terjadi tragedi penembakan pesawat sipil Korea Selatan oleh Uni Soviet. Penyebab insiden adalah keterbatasan teknologi navigasi pesawat Korea Selatan tersebut, sehingga tidak menyadari jika mereka telah memasuki wilayah udara Uni Soviet.
Tragedi semacam ini tidak akan terjadi jika pesawat tersebut memiliki sistem navigasi seperti GPS. Karena itulah pada 16 September 1983, Presiden AS kala itu, Ronald Reagan, secara resmi membuka akses teknologi GPS untuk publik. Awalnya teknologi GPS untuk publik ini dibatasi akurasinya (radius 100 meter), berbeda dengan militer AS yang bisa mencapai presisi 5 meter. Tujuannya agar militer AS tetap memiliki kelebihan dalam memanfaatkan teknologi ini.
Namun sejak tahun 2000, pembatasan akurasi tersebut dihapus, sehingga kita bisa mendapatkan teknologi GPS yang presisi; sama seperti yang diperoleh militer AS.
Pesaing GPS
Sebagai pemilik teknologi, AS pun memiliki kewenangan untuk memanfaatkan GPS sesuai kepentingan mereka. Termasuk, membatasi akses GPS bagi pihak yang berlawanan dengan kepentingan mereka. Contohnya saat terjadi perang antara India dan Pakistan di tahun 1999. Kala itu, AS yang memihak Pakistan, membatasi akses GPS untuk pasukan India.
Terlalu besarnya dominasi AS di teknologi GPS inilah yang mendorong pemerintah negara lainnya untuk mengembangkan teknologi pesaing GPS. Contohnya Rusia yang mengembangkan GLONASS (Global Navigation Satellite System), Uni Eropa (Galileo Positioning System), Jepang (Quasi-Zenith Satellite System) dan China (Beidou Navigation Satellite System).
Akan tetapi, teknologi pesaing ini memang belum bisa menandingi GPS. Mengembangkan sistem navigasi tidaklah mudah dan murah, yang menjelaskan mengapa proyek Glonass milik Rusia menjadi mandek. China dengan sistem Beidou-nya memiliki kemampuan finansial dan teknis untuk menyaingi GPS, namun menghadapi dilema adopsi.
Seperti pernah kami tulis di sini, migrasi sistem navigasi mengharuskan industri dan pengguna mengganti perangkat pendukung yang digunakan selama ini. Hal ini tentu saja membutuhkan investasi yang tidak sedikit, sehingga proses migrasinya akan membutuhkan waktu lama.
Pendek kata, GPS tetap akan menjadi teknologi navigasi yang akan terus kita gunakan dalam beberapa tahun mendatang. Dan untuk itu, kita harus “berterima kasih” kepada rakyat AS yang rela uang pajaknya dipakai untuk membiayai biaya operasional GPS.
Penulis | : | Wisnu Nugroho |
Editor | : | Wisnu Nugroho |
KOMENTAR