Jika Anda pengguna Telkomsel, Anda mungkin tertarik dengan paket Telkomsel terbaru yang disebut Kuota Keluarga. Di paket ini, Anda bisa membeli paket kuota yang bisa digunakan bersama oleh Anda dan istri atau anak Anda. Dengan harga mulai Rp.150 ribu, paket ini meningkatkan efisiensi konsumsi kuota keluarga Anda, yang sebelumnya harus membeli sendiri-sendiri.
Paket Kuota Keluarga ini juga menarik dari sisi teknologi karena inilah salah satu buah manis inisiatif yang disebut Telkomsel Digital Core. Seperti diungkapkan Metra C. Utama (VP IT Digital Enablement Telkomsel), Digital Core adalah inisiatif untuk menjawab tantangan di era ekonomi digital seperti sekarang. “Digital Core bertujuan memberikan fleksibilitas dalam membuka kemampuan Telkomsel ke digital ekosistem yang lain” ungkap pria yang telah 14 tahun bekerja di perusahaan telekomunikasi terbesar Indonesia tersebut.
Memotong Monolitik
Inisiatif Digital Core sendiri muncul setelah melihat perubahan mendasar dari sisi pelanggan maupun kondisi internal Telkomsel. “Pada studi yang kami lakukan di tahun 2017, kami mendapati cara pelanggan berinteraksi dengan Telkomsel berubah drastis” cerita Metra. Jika sebelumnya kanal utamanya berbasis telepon dan Grapari, kini pelanggan lebih banyak berinteraksi menggunakan kanal digital (seperti lewat web, aplikasi, sampai virtual assistant). “Hal itu membuat kami harus beradaptasi dan mengintegrasikan channel dengan tepat” ungkap Metra.
Sementara di kondisi internal, selama ini Telkomsel terbiasa membangun sistem TI secara monolitik. “Jadi dari front-end sampai back-end, sebuah sistem menjadi satu kesatuan yang kami sebut vertical stack” ungkap Metra. Meski memberikan kestabilan, arsitektur monolitik tersebut kian terasa kekurangannya di era seperti sekarang. Contohnya ketika Telkomsel ingin memanfaatkan kapabilitas vertical stack dari CRM, mereka harus melakukannya secara point-to-point. “Jadi integrasinya sangat rumit” ungkap Metra.
Dua faktor inilah yang mendorong Telkomsel melakukan inisiatif Digital Core. Melalui inisiatif ini, pondasi arsitektur yang sebelumnya monolitik diubah menjadi sistem API (Application Programming interface) yang lebih luwes. “Jadi esensi Digital Core adalah membuat pondasi digital yang bisa membuka kemampuan Telkomsel ke dunia luar” ungkap pria lulusan Teknik Elektro ITB ini.
Untuk melakukan perubahan mendasar itu, strategi yang Telkomsel lakukan adalah “memotong” vertical stack di tengah. “Jadi kita pisahkan bagian yang kita sebut system of engagement dengan system of record” cerita Metra. Dari semua vertical stack yang dimiliki Telkomsel, fokus utama ditujukan ke tiga layanan, yaitu customer information, browse product, dan product. “Karena tiga services ini yang interaksinya paling tinggi” ungkap Metra mengungkapkan alasannya.
Setelah dipotong-potong, tiap sistem ini kemudian diubah menjadi menjadi berbasis API. Sistem berbasis API inilah yang kemudian menjadi dasar pengembangan produk Telkomsel saat ini, termasuk Paket Keluarga seperti contoh di atas. “Ibaratnya kami menyiapkan bumbu, nanti business unit yang meramu jadi masakan” ungkap Metra menganalogikan.
Dengan kemudahan seperti itu, kecepatan merilis produk baru (atau time to market) Telkomsel kini semakin pendek. “Jika sebelumnya butuh order mingguan, sekarang bisa harian atau bahkan jam” cerita Metra. Unit bisnis juga mendapatkan kemandirian untuk meningkatkan kapabilitas produknya. “Jadi ketika mereka melihat ada produk yang performanya kurang bagus, mereka bisa memperbaiki tanpa harus menunggu periode tertentu” ungkap Metra.
Pemanfaatan koleksi API milik Telkomsel ini juga tidak terbatas di lingkungan internal, namun juga eksternal. “Contohnya ada pihak ketiga yang memiliki aplikasi, mereka tinggal panggil API (Telkomsel) dan bisa langsung bertransaksi di aplikasi mereka” tambah Metra.
Meyakini Diri Sendiri
Inisiatif Telkomsel Digital Core sendiri mulai bergulir di awal tahun 2018. Rilis awal Digital Core meluncur pada bulan Juni 2018, disusul rilis utama yang memiliki semua fitur pada September 2018. Sementara di Desember 2018 kemarin, rilis terbaru Digital Core muncul dengan kemampuan redundant active-active di lebih dari satu data center.
Mengubah pondasi arsitektur seperti yang dilakukan Telkomsel memang bukan hal yang ringan.
“Industri telekomunikasi selalu bergerak dalam skala yang besar, seperti jumlah transaction per second yang tinggi” ungkap Metra. Karena itu, selama ini industri telekomunikasi terbiasa dengan pendekatan monolitik karena terbukti mampu menangani skala sebesar itu.
Di sisi lain, sistem berbasis API yang diproyeksikan menggantikan sistem monolitik, lebih banyak digunakan startup yang memiliki skala jauh lebih kecil. “Untuk mencari referensi adopsi teknologi baru seperti itu di perusahaan sebesar Telkomsel masih sangat sulit” cerita Metra. Belum lagi aspek reliability dan availability tetap harus terjaga selama proses pergantian ini. “Jadi tantangan terbesar kala itu adalah meyakinkan diri sendiri kalau perubahan ini bisa dilakukan” ujar Metra sambil tertawa kecil.
Namun berbagai tantangan itu akhirnya berhasil diatasi. Saat ini, Digital Core berjalan di teknologi baru seperti microservices dan container. Pengembangan Digital Core juga menggunakan pendekatan agile development dan sprint seperti perusahaan digital masa kini.
“Ketika mengembangkan tiga rilis utama, kami masih menggunakan sistem waterfall karena yang diubah adalah pondasi dasar” cerita Metra. Namun setelah itu, tim Digital Core memiliki backlogs berisi usulan perbaikan dari unit bisnis dan sprint planning untuk menentukan perbaikan yang akan segera dilakukan. “Jadi bisnis unit memiliki waktu rilis yang terdefinisi” tambah Metra.
Ketika ditanya rencana ke depan, Metra menyebut ia dan tim masih fokus seputar peningkatan stabilitas sistem, sambil melirik potensi API untuk segmen B2B. “Kami berharap, begitu capability-nya sudah terbentuk, Digital Core akan menjadi powerful tools bagi teman-teman di business unit B2C maupun B2B” tambah Metra.
Penulis | : | Wisnu Nugroho |
Editor | : | Wisnu Nugroho |
KOMENTAR