Pemerintah mengaku tidak bisa mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) begitu saja pada perusahaan digital.
Hal itu dikarenakan pemerintah belum menemukan skema tepat untuk memungut pajak perusahaan yang mayoritas berbasis di luar negeri tersebut.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara mengatakan pemerintah masih bimbang mengenai hak pemungutan pajak kepada perusahaan digital.
Masalahnya, masih ada perdebatan apakah pajak itu merupakan hak pemerintah Indonesia atau tempat perusahaan itu berdiri.
"PPN nya punya siapa? Punya yang produsen di luar atau punya Indonesia? Hak itu saja sudah jadi perdebatan besar," kata Suahasil.
Suahasil mengaku beberapa negara sudah menerapkan PPN kepada perusahaan digital yang berbasis di luar negeri. Pemerintah tempat perusahaan itu mendapatkan keuntungan bisa meraup pendapatan dari pajak yang dibayarkan perusahaan digital tersebut tiap tahun.
"Tapi ini belum bisa kami tentukan karena dia (perusahaan digital) di luar negeri, jadi kalau nanti kami melakukan kajian apakah perusahaan luar negeri sebagai wajib pungut sehingga dia memungut dan menyetorkan ke kas negara ini, itu sudah terjadi di beberapa negara," kata Suahasil.
Salah satu contohnya, seperti Australia. Suahasil mengatakan ketika masyarakat berlangganan Netflix, mereka diwajibkan membayar PPN sebesar 10 persen. Kemudian, pemerintah Australia bisa memungut PPN kepada Netfix setiap tahunnya.
Karena itu, pemerintah masih menunggu kajian dari Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) terkait skema pajak digital di dunia internasional.
Sejumlah negara yang tergabung dalam G20 bekerja sama dengan organisasi tersebut untuk menemukan racikan pajak yang tepat bagi perusahaan digital.
"Nanti coba kami diskusikan lagi sama-sama," pungkas Suahasil.
Penulis | : | Adam Rizal |
Editor | : | Adam Rizal |
KOMENTAR