Pertumbuhan pengguna smartphone dan internet yang pesat di Indonesia telah membuat berbagai industri masuk ke ranah digital.
Seperti industri periklanan misalnya. Saat ini, sudah banyak brand di dunia -termasuk Indonesia- yang menggunakan pola pemasaran produknya dengan berbasis digital.
Perlu diakui, pola seperti ini memang menguntungkan brand lantaran dapat menjangkau konsumen dengan luas dan cepat.
Meski demikian, pemilik brand juga harus waspada dengan maraknya penipuan iklan yang berakibat pada hilangnya pendapatan brand tersebut.
Berdasarkan whitepaper yang diterbitkan Mobile Marketing Association (MMA) yang bertajuk “Fraud Brand Safety & Viewability Whitepaper”, diungkapkan bahwa penipuan iklan di via smartphone kini menjadi semakin canggih dan sulit dideteksi.
Akibatnya, miliaran dolar terpaksa dipertaruhkan dan hal ini membuat para pemilik brand harus menjadi lebih waspada.
Lebih lanjut, whitepaper ini juga mengungkapkan bahwa para pengiklan diperkirakan akan kehilangan USD42 miliar dari pengeluaran iklan secara global pada tahun 2019, karena masalah yang berfokus pada penipuan iklan.
Di Asia Pasifik, diperkirakan USD17 juta hilang yang di mana ini merupakan dampak keseharian dari penipuan iklan.
Terkait dengan penipuan iklan, Indonesia sendiri memiliki posisi sebagai negara terbesar kedua di Asia Pasifik yang mengalami masalah ini.
Diketahui, Indonesia merupakan target para penipu periklanan karena skala dan volume pembelanjaan iklan yang signifikan.
Di Tanah Air, industri yang menjadi target akan hal ini adalah para pengguna terbesar dalam pemasaran digital dan seluler.
Industri-industri yang ditargetkan termasuk e-commerce, Teknologi Finansial (fintech), FMCG, dan sektor gim.
Dalam konferensi pers yang digelar hari ini (08/08/19) di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, Shanti Tolani selaku Country Manager Mobile Marketing Association Indonesia mengatakan, “Berdasarkan survei kami pada Q1 2019, di Indonesia 33% pemasar masih rendah pengertiannya terhadap tingkat penipuan periklanan untuk pembelanjaan iklan mereka.”
“Pengetahuan tentang sistem monitoring dari cara brand mereka ditayangkan di media dan bagaimana penayangan tersebut diukur masih rendah. Dengan demikian, ada kebutuhan untuk meningkatkan transparansi dari mitra media mereka. Hal ini menjadi penting bagi masing-masing pemangku kepentingan pada ekosistem ini untuk mengedukasi dan terus berusaha mengatasi isu tersebut, di situlah MMA memberikan kontribusi pada industri periklanan. Terkait penipuan iklan dan brand safety, Indonesia baru saja memulai perjalanannya,” tambah Shanti.
Sementara itu, Hemant Bakshi, selaku CEO/Presiden Direktur PT Unilever Indonesia, mengatakan bahwa kredibilitas iklan online masih menjadi masalah global dan industri saat ini.
Menurut Hemant, kurangnya transparansi adalah masalah bagi brand dan konsumen, karena hal itu merusak kepercayaan dan mendistorsi dampak yang terjadi.
“Penelitian menunjukkan bahwa click fraud menghasilkan laba lebih dari USD20 juta per bulan untuk mereka yang terlibat, dan para bot ini dapat mencapai hingga 90% dari jumlah click pada kampanye periklanan,” ucap Hemant.
“Perusahaan besar harus lebih bisa mengontrol dan meningkatkan visibilitas tempat mereka beriklan dan melakukan upaya nyata untuk mengatasi masalah ini agar bisa mendapatkan lebih banyak kepercayaan konsumen melalui transparansi yang lebih tinggi dari para media, penggunaan waktu dan uang yang lebih efektif, dan pengalaman online yang lebih baik untuk semua orang. Pada akhirnya, semua pengiklan harus memiliki tujuan untuk menciptakan pengalaman yang lebih positif bagi para konsumen online,” tambah Hemant.
Penulis | : | Rafki Fachrizal |
Editor | : | Rafki Fachrizal |
KOMENTAR