Tren adopsi cloud yang terus meningkat dari tahun ke tahun sudah pasti ada dalam prediksi. Namun yang menarik, menurut RightScale 2019 State of the Cloud Report dari Flexera, multi cloud adalah strategi yang kini dipilih perusahaan sebagai preferensi.
Laporan tersebut mengungkapkan bahwa 84% dari 786 responden di seluruh dunia sudah menerapkan strategi multi cloud. Laporan yang sama menyebutkan bahwa organisasi di dunia rata-rata memanfaatkan hampir 5 layanan cloud secara bersamaan.
Mengapa strategi multi cloud lebih disukai? Sebenarnya ada beberapa alasan, misalnya perusahaan tidak yakin terhadap reliabilitas cloud dan memiliki tujuan bisnis dan teknis yang lebih luas, misalnya ada kebutuhan workload yang spesifik. Namun perusahaan memilih multi cloud karena mereka tidak ingin terjebak dalam situasi “terkunci” oleh vendor tertentu (vendor lock-in).
“Kalau kita lihat 10-15 tahun lalu, para vendor punya platform hardware sendiri dan membangun solusi atau software di seputar platform tersebut. Hasilnya adalah satu vertical proprietary stack,” ujar Dirk-Peter van Leeuwen, VP & GM, APAC, Red Hat dalam kesempatan wawancara khusus dengan InfoKomputer. Dirk menambahkan, tentu hal itu boleh saja dilakukan karena vendor melakukannya dalam rangka memanfaatkan peluang bisnis.
Multi cloud sendiri merupakan mix & match layanan cloud dari berbagai penyedia layanan. Layanan-layanan ini tidak terkoneksi atau terorkestrasi satu sama lain. Dengan multi cloud, pelanggan dapat mengabstraksi teknologi dari berbagai cloud provider dan menjadikannya sebagai komoditas.
“Pelanggan makin menyadari hal itu dan mereka memutuskan untuk memilih teknologi yang portabel, dan dapat berpindah di antara cloud tersebut,” jelas Dirk seraya menambahkan bahwa untuk melakukan itu, perusahaan dapat memanfaatkan platform seperti Red Hat OpenShift.
“OpenShift memungkinkan Anda membuat container platform dan menjalankannya di atas teknologi milik cloud provider apapun tanpa harus memilih satu provider tertentu yang menjadikan Anda tergantung pada provider tersebut selamanya,” imbuhnya.
Teknologi seperti OpenShift memungkinkan pelanggan menjalankan aplikasi selama satu detik di satu penyedia layanan cloud, dan di detik berikutnya berpindah ke provider lain. Dan keputusan untuk berpindah dari satu cloud ke cloud lain dapat dijalankan dengan otomatisasi penuh.
Menurut Dirk, multi cloud menjadi tren juga karena perusahaan menyadari bahwa mereka harus membangun technology stack yang berwawasan masa depan.
Tren multi cloud pula yang mendorong IBM untuk mengakuisisi Red Hat. Adopsi multi cloud secara global masih kurang dari 20 persen dan IBM melihat peluang besar di sana. “Dan kami melihat ada banyak peluang itu di Asia, terutama untuk green field development, ada banyak area di mana Anda melihat teknologi-teknologi baru bermunculan,”ujar Dirk.
Namun dalam implementasi multi cloud, pelanggan umumnya masih dihadapkan pada tantangan arsitektur. “Ada kebutuhan orang dan spesialis yang dapat membantu pelanggan mendesain dan membuat platform (multi-cloud). Skill ini sulit dicari karena pertumbuhan cloud yang sangat cepat. Oleh karena itu, Red Hat juga membantu pelanggan mengembangkan skill ini secara internal dan memanfaatkannya untuk membangun arsitektur yang tepat,” jelas Dirk-Peter van Leeuwn menutup wawancara.
Penulis | : | Liana Threestayanti |
Editor | : | Liana Threestayanti |
KOMENTAR