Perkembangan layanan financial technology (fintech) lending saat ini semakin pesat di Indonesia. Karena itu, Indonesia butuh undang-undang atau payung hukum untuk mengatur kegiatan fintech tersebut.
Kompol Silvester Simamora dari Direktorat Siber Polri mengungkapkan aturan yang ada saat ini masih berada di hilir kegiatan. Misalnya ketentuan fintech yang dikeluarkan oleh regulator masih berupa ketentuan administratif yang ada dalam Peraturan OJK nomor 77/POJK.01/2016.
Aturan atau payung hukum yang jelas diharapkan bisa menjerat pelaku fintech ilegal yang melakukan tindakan di luar batas seperti pencemaran nama baik.
Dia mencontohkan, misalnya ada desk collection yang menyebarkan foto pribadi nasabah di sebuah grup whatsapp. Maka pelaku tersebut saat ini bisa dijerat dengan UU ITE.
"Fintech pada dasarnya sangat bermanfaat untuk masyarakat yang membutuhkan pinjaman dan tidak memiliki syarat seketat bank. Jadi undang-undang fintech dibutuhkan," ujarnya di kantor OJK.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Satgas Waspada Investasi, Tongam L Tobing menjelaskan fintech ini dibutuhkan penataan agar menjadi lebih baik. Dengan undang-undang maka kegiatan fintech ilegal bisa masuk kategori tindak pidana.
"Jadi UU Fintech ini sangat sangat urgent. Diharapkan dengan adanya UU, fintech yang tidak terdaftar di OJK tanpa ada aduan pun bisa langsung dilakukan penyidikan sehingga jumlah fintech ilegal akan semakin berkurang," ujar Tongam.
Menurut dia, Satgas Waspada Investasi akan terus melakukan peningkatan literasi mengenai produk-produk keuangan legal maupun mendengarkan aduan masyarakat mengenai kegiatan investasi ilegal.
Dari data Satgas, hingga 31 Oktober 2019, ditemukan 297 entitas fintech ilegal yang sudah diblokir.
Saat ini jumlah perusahaan fintech lending yang terdaftar dan berizin di OJK hingga September mencapai 127 perusahaan.
Penulis | : | Adam Rizal |
Editor | : | Adam Rizal |
KOMENTAR