Sigfox, perusahaan penyedia jaringan Internet of Things (IoT) asal Perancis, melalui Sigfox Indonesia memperkenalkan konsep IoT 0G (zero G). Solusi ini diklaim memiliki sebaran wilayah yang sangat luas sehingga dinilai tepat digunakan di Indonesia.
Sigfox membawa konsep jaringan IoT 0G (Zero G) untuk memberikan solusi atas tiga hambatan terbesar dalam adopsi IoT, yaitu masalah biaya, konsumsi energi serta pilihan teknologi yang digunakan.
Menjawab tantangan tersebut, Sigfox menggabungkan utilisasi perangkat sensor dan jaringan yang berdaya rendah namun memiliki jangkauan luas. Walhasil teknologi yang digunakan cukup sederhana, pun dengan biaya pemeliharaan yang lebih efektif dan efisien.
Dalam mendukung program pemerintah ‘Making Indonesia 4.0’ dan meningkatkan daya saing di era Industri 4.0, Sigfox Indonesia akan membangun jaringan 0G (Zero G) low powered IoT yang dapat menjangkau seluruh daerah di Indonesia hingga ke pelosok daerah.
Irfan Setiaputra (CEO Sigfox Indonesia) mengatakan bahwa saat ini yang menjadi tantangan dalam penerapan IoT di Indonesia adalah pemahaman mengenai penggunaan dan manfaat IoT dan tentunya biaya dan sumberdaya serta kapabilitasnya.
Irfan menuturkan, meski saat ini banyak yang menggunakan istilah IoT, namun hanya sebagai bukti transformasi digital tanpa memahami betul seluruh ekosistem yang harus dicermati.
Di sinilah peran Sigfox yang menginginkan semua lapisan masyarakat dapat menggunakan teknologi IoT Zero G dengan
lebih efektif dan efisien. Karena konsep IoT Sigfox adalah Low Powered IoT yang menggunakan jaringan 0G (Zero G) tidak membutuhkan pasokan daya listrik yang besar dan dapat dipantau dari jauh.
Contoh penerapan IoT 0G ini adalah dapat dipergunakan untuk tracking logistic saat memesan barang dari e-commerce, e-tilang, deteksi polusi udara, transportasi publik pintar, pembayaran digital, penerapan smart
city, hingga sensor untuk smart home.
Namun karena luasnya wilayah Indonesia, saat ini masih terdapat daerah yang belum terjangkau oleh jaringan selular atau masih bergantung pada infrastruktur jaringan yang membutuhkan bandwith besar.
Selain tak memerlukan daya listrik besar, konsep Low Powered IoT Sigfox juga tidak membutuhkan bandwidth besar karena sensor dari perangkat Sigfox hanya mengirimkan data secara berkala sesuai dengan kebutuhan user.
Sebagai contoh, pada pengaplikasian IoT pada sektor perkebunan, pengelola akan mendapatkan data secara berkala mengenai kondisi tanah, temperatur serta suhu udara melalui platform mobile atau smartphone.
Dengan demikian penerapan teknologi IoT tak hanya di perkotaan namun seluruh pengguna baik dari lembaga pemerintahan, pelaku industri, hingga masyarakat daerah merasakan manfaat teknologi IoT sebagai aspek pendukung dalam menggerakkan roda perekonomian.
“Kami harap keberadaan Sigfox di Indonesia tak hanya membantu kegiatan operasional industri, kehidupan sehari-hari, bahkan juga menciptakan lapangan kerja, dan mengantarkan Indonesia menjadi salah satu negara yang diperhitungkan di perekonomian global,” tutup Irfan.
KOMENTAR