Kementerian Pariwisata atau Kemenpar berencana menertibkan aplikator penginapan berbiaya terjangkau yang belakangan semakin marak di sejumlah daerah, khususnya di kawasan pariwisata yang jadi kantong turis.
Kemenpar akan menertibkan bisnis operator hotel berbasis daring, seperti OYO dan RedDoorz di Indonesia.
Dua perusahaan itu dinilai mencampuradukkan usaha akomodasi dengan indekos sehingga mengganggu iklim industri perhotelan.
Operator penginapan dan hunian sewa itu menerapkan model bisnis ekonomi berbagi. Namun, aturan yang mendasari bisnis itu belum ada. Akibatnya, bisnis indekos dimanfaatkan untuk penginapan atau akomodasi.
Padahal, usaha akomodasi wajib memiliki perizinan akomodasi dan tanda daftar usaha pariwisata, serta membayar pajak.
"Jangan sampai mereka klaim kos-kosan itu (bisa) menjadi usaha akomodasi. Mereka harus mengambil keputusan, ganti nama dan pasar dalam jaringan untuk bisnis kos-kosan," kata Asisten Deputi Investasi Pariwisata Kementerian Pariwisata Hengky Manurung di Jakarta.
Hengky menambahkan, jika Oyo dan RedDoorz masih menggunakan tempat indekos sebagai akomodasi, pihaknya akan membawa persoalan ini ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Secara terpisah, Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Hariyadi Sukamdani mengemukakan, praktik bisnis operator hotel berbasis daring yang menabrak regulasi menimbulkan persaingan yang tidak sehat.
”Pengelolaan indekos berbasis hunian sewa bulanan yang menjadi penginapan harian telah merusak ekosistem bisnis akomodasi,” katanya.
Diprotes pengusaha hotel melati
Ketua Perhimpunan Hotel Non Bintang (PHNB), Sutrisno Iwantono, mengatakan pemerintah harus tegas pada aplikator jasa penginapan agar tak merugikan pelaku usaha perhotelan yang berkontribusi rutin membayar pajak.
"Kita bukan tak mau bersaing, tapi fair sajalah. Masa iya kos-kosan dijadikan penginapan, apartemen kosong dijadikan hotel. Ini kan sudah jelas peruntukkannya, perizinannya bagaimana ini," ucap Sutrisno.
Penulis | : | Adam Rizal |
Editor | : | Cakrawala |
KOMENTAR