Fakta itu diungkap oleh PwC melalui sebuah survei yang diikuti oleh lebih dari 1.600 CEO dari seluruh dunia. Delapan puluh persen dari responden survei tersebut berpendapat bahwa ancaman siber adalah ancaman terbesar bagi bisnis mereka. Bahkan kekhwatiran banyak CEO ini melebihi kegundahan terhadap kecakapan/skill (79%) dan kecepatan perubahan teknologi (75%).
Ternyata bukan hanya laporan PwC yang mengatakan hal tersebut. “Global Risks Report for 2020” yang dirilis oleh The World Economic Forum juga menempatkan serangan siber dan pencurian data sebagai risiko-risiko utama yang dapat berdampak pada masyarakat. Dua ancaman itu menduduki peringkat ketiga setelah perubahan iklim dan bencana lingkungan.
Kecemasan para pemimpin perusahaan tersebut tentu beralasan karena kejahatan siber yang terjadi belakangan ini memperlihatkan skala kerusakan terhadap bisnis yang makin massif. Misalnya, ancaman denda sebesar £183,4 juta atau setara Rp 3,256 triliun terhadap British Airways akibat peretasan sistem yang dialaminya pada tahun 2018 lalu. Insiden ini berdampak terhadap data pribadi dan data kartu kredit milik 500 ribu pelanggannya.
Atau, kasus yang terbaru adalah serangan malware terhadap perusahaan valuta asing, Travelex, awal tahun baru lalu. Akibat serangan pada kantornya di London, Travelex terpaksa menghentikan aktivitas bisnisnya, termasuk dalam memberikan layanan jasa currency exchange kepada klien-klien korporasinya.
Kepada ZDnet, Richard Horne, Cybersecurity Chair PwC, mengatakan bahwa ancaman siber bukan lagi sesuatu yang abstrak dan bisa diabaikan. Serangan siber telah menjadi sebuah isu penting di mata para CEO di seluruh dunia karena ancaman ini dapat berdampak pada marjin bisnis, brand, bahkan eksistensi perusahaan.
Para penjahat maya juga makin canggih dalam memonetisasi kejahatannya. Menurut Horne, hal ini terlihat dari jumlah serangan ransomware yang meningkat tajam pada tahun lalu.
Hapus Akun Medsos
Kekhawatiran para pemimpin perusahaan terhadap kejahatan maya rupanya begitu besar karena hampir semua CEO yang disurvei oleh PwC mengambil langkah-langkah untuk menghindari serangan maya.
PwC menyebutkan bahwa 48% dari respondennya mengubah perilaku digitalnya karena tak ingin terkena serangan siber yang seringkali membidik jajaran eksekutif perusahaan sebagai korbannya. Para CEO ini tak segan-segan menghapus akun media sosialnya karena media sosial dianggap berpotensi digunakan para penjahat maya untuk mengakses data pribadi calon korbannya
Ada pula CEO yang berinisiatif menghapus aplikasi virtual assistant di perangkat miliknya karena aplikasi ini berpotensi menimbulkan isu-isu privasi dan kemungkinan melakukan eavesdropping. Untuk melindungi dirinya dari serangan maya, bahkan ada CEO yang meminta perusahaan menghapus data-data tentang dirinya.
Akibatkan Perubahan Radikal
Bagaimana mencegah ancaman serangan siber? PwC merekomendasikan perusahaan atau organisasi untuk menjadikan keamanan siber sebagai prioritas utama di seluruh bagian organisasi.
"CEO harus menantang diri mereka sendiri dan jajaran eksekutif lainnya, apakah respons mereka terhadap serangan siber sudah cukup dan berevolusi dengan cukup cepat karena risikonya terus berkembang, dan dengan sifat keamanan siber, ini akan berdampak pada semua aspek bisnis, termasuk strategi, pengembangan bisnis, supply chain, pengalaman staf dan pelanggan,” ujar Richard Horne seperti dikutip dari ZDNet.
Bahkan Horne memperkirakan risiko keamanan siber akan mengharuskan organisasi mengadakan perubahan radikal terhadap bisnis dan operasionalnya, sehingga organisasi akan lebih aman dan dapat membangun kontrol-kontrol keamanan dengan lebih baik.
Source | : | ZDNet |
Penulis | : | Liana Threestayanti |
Editor | : | Liana Threestayanti |
KOMENTAR