Ratusan pengemudi taksi online dari Aliansi Driver Online Indonesia (Aliando) rencananya akan melakukan demonstrasi di depan kantor Departemen Perhubungan pada hari Selasa (4/2). Ratusan pengemudi ini menuntut pemerintah memperjuangkan nasib pengemudi dalam bernegosiasi dengan aplikator (penyedia solusi taksi online) seperti Grab dan Gojek/Gocar.
Seperti diceritakan Miftah, penanggung jawab demonstrasi, tuntutan ini tak lepas dari berbagai masalah yang menghimpit pengemudi taksi online saat ini. “Orderan sepi, tarif murah, argo gak manusiawi; itu semua yang kami hadapi,” ungkap Miftah menggambarkan kesulitan yang dihadapi pengemudi taksi online saat ini.
Soal orderan sepi, Miftah menggambarkan pengalamannya sehari-sehari. “Sekarang cuma 5-6 order sehari, itu pun argonya kecil-kecil,” ungkap Miftah. Miftah mengklaim, saat ini aplikator pilih kasih dengan mendahulukan armada yang menjadi mitra bisnis korporatnya, seperti Green Line (untuk Grab) atau GoFleet (untuk Gocar).
Belum lagi terus dibukanya pintu pendaftaran untuk pengemudi baru, yang menambah ketat kompetisi mendapatkan pelanggan. “Bahkan dari luar daerah pun diterima,” keluh Miftah.
Ketika frekuensi orderan semakin turun, persentase bagi hasil untuk aplikator semakin bertambah. “Sekarang potongannya sampai 30%, padahal dulu 20%,” tambah Miftah. Bahkan untuk Gocar, Miftah mengklaim potongannya bisa mencapai 35%.
Tekanan semakin tinggi karena pengemudi berada di posisi yang lemah. Contohnya soal keputusan menghukum pengemudi yang dilakukan secara sepihak. “Kita bisa di-suspend atau diputus mitra secara tiba-tiba, tanpa diberi tahu salahnya,” cerita Miftah.
Pendapatan Tinggi Tinggal Kenangan
Miftah sendiri telah menjadi pengemudi taksi online sejak tahun 2016. Ia sebelumnya bekerja di salah satu bank nasional, namun keluar dan menjadi pengemudi taksi online. Di tahun-tahun awal, Miftah mengaku mendapatkan pendapatan yang lumayan. “Dulu sehari bisa dapat Rp.1 juta,” cerita Miftah.
Namun kini, pendapatan setinggi itu tinggal masa lalu. Miftah mengaku paling banyak mendapatkan 8 order, padahal sudah bekerja dari pagi sampai larut malam. Ia kini lebih banyak menghabiskan waktu tanpa penumpang di jalan, atau minum kopi di warung menunggu orderan.
Di tengah kondisi saat ini, Miftah melihat tidak adanya perhatian dari pemerintah maupun aplikator. “Mereka [aplikator, Red] kan besar karena individu [seperti kami],” ungkap Miftah. “Namun sekarang mereka sudah besar, kami dilupakan,” tambah Miftah dengan nada getir.
Penulis | : | Wisnu Nugroho |
Editor | : | Wisnu Nugroho |
KOMENTAR