Sebagian besar penduduk dunia kini sedang melakukan physical distancing atau jaga jarak aman untuk meminimalisir risiko penularan Covid-19.
Para pekerja pun diminta untuk bekerja dari rumah atau work from home sementara pelajar harus belajar dari rumah memanfaatkan jaringan internet dan melakukan segala hal serba virtual.
Ternyata, perubahan gaya kerja dan sekolah ini berdampak pada peningkatan permintaan laptop dan perangkat pendukung lain, termasuk internet. Padahal, beberapa pabrikan laptop dan komponennya memprediksi penurunan permintaan akibat lesunya ekonomi global sebagai dampak pandemi virus corona.
Namun, permintaan di retailer rupanya meningkat berkat aturan kerja dari rumah. Di Jepang, pabrikan laptop Dyanbook mengaku banyak mendapat permintaan laptop.
Hal yang sama juga dialami kompetitornya, NEC yang menawarkan laptop yang ramah tele-working, seperti menyematkan speaker yang lebih bertenaga di laptopnya.
Vendor asal Korea Selatan, Samsung, juga melaporkan kenaikan 20 persen untuk ekspor material semikonduktor.
Di Autralia, salah satu retailer elektronik JB Hifi melaporkan, selain ada peningkatan permintaan untuk sejumlah perangkat pendukung kerja dan belajar dari rumah, penjualan perabot rumah juga naik.
Lalu lintas internet makin padat Banyaknya orang yang bertatap muka secara virtual juga membuat lalu lintas internet semakin padat. Walhasil, kapasitas pusat data yang dibutuhkan akan lebih banyak untuk menampung trafik.
"Lebih banyak orang yang bekerja dan belajar dari rumah selama pandemi, ada peningkatan permintaan layanan internet, artinya pusat data membutuhkan pipa lebih besar untuk menampung trafik," jelas Park Sung-soon, analis dari Capr Investment & Securities.
Hal itu turut diamini oleh salah satu pejabat dari Kementerian Perdagangan Korea Selatan. Ia mengatakan bahwa layanan cloud mendorong penjualan chip server, sebagaimana dirangkum Venture Beat.
Sebulan China, negara yang paling awal menyelenggarakan karantina akibat wabah corona, lebih dulu mengalami peningkatan permintaan chip server. Perusahaan-perusahaan teknologi raksasa di sana, seperti Alibaba, Tencent, dan Baidu, bergegas merespons kebijakan pemerintah setempat kala itu yang melakukan karantina wilayah.
"Perusahaan cloud membuka platform mereka, membuka pintu bagi pengguna lama dan baru untuk menggunakan sumber daya mereka lebih banyak secara gratis untuk mendukung operasi ini," kata analis Canalys, Yih Khai Wong.
Source | : | Venture Beat |
Penulis | : | Adam Rizal |
Editor | : | Rafki Fachrizal |
KOMENTAR