Pada awal 2000-an, teknologi komputasi awan atau biasa disebut dengan cloud computing mulai marak digunakan oleh berbagai perusahaan maupun instansi pemerintah.
Alasan dari maraknya adopsi ini adalah karena cloud computing memberikan banyak kemudahan mulai dari akses, scalability, biaya yang rendah, hingga ekosistem yang beragam.
Tak hanya itu, teknologi ini juga menawarkan sistem keamanan yang lebih baik dibandingkan teknologi on-premise sebelumnya.
Berdasarkan studi IDG tahun 2018, terdapat sebanyak 73 persen perusahaan yang memiliki paling sedikit satu aplikasi di lingkungan cloud, sedangkan 17 persen sisanya akan mulai mengadopsi cloud dalam jangka 12 bulan ke depan.
Baca Juga: Amazon Detective, Layanan Baru AWS Siap Buru Ancaman di Cloud
Seiring berjalannya waktu, cloud computing telah berevolusi menghadirkan teknologi-teknologi baru dan model-model deployment. Salah satu diantaranya adalah Hybrid Cloud.
Hybrid Cloud sendiri merupakan perpaduan antara public cloud dengan private cloud, yakni yang di-host dan dikelola dalam pusat data on-premises.
Menariknya, meskipun teknologi hybrid terdiri dari teknologi public cloud dan private cloud, keduanya masih dapat berkomunikasi satu sama lain untuk kebutuhan berbagi data.
Tak hanya itu, pengguna hybrid cloud juga mendapat keleluasaan penuh untuk mengelola data. Mereka dapat menyimpannya secara tersendiri di pusat-pusat data on-premise atau memindahkan ke public cloud.
Baca Juga: Pemerintah Konfirmasi Amazon Web Services Bakal Investasi di RI
Hal yang sama rupanya terjadi juga pada hybrid cloud. Survei RightScale menemukan bahwa dari 94 persen responden, hampir 69 persennya telah menggunakan teknologi hybrid pada 2019. Hal ini disebabkan oleh adanya kombinasi antara adopsi cloud pribadi dan public cloud.
Namun, sebelum memutuskan untuk mengadopsi teknologi hybrid computing, perusahaan harus mempertimbangkan beberapa standar penting berikut agar dapat memaksimalkan keuntungan hybrid computing.
Penulis | : | Fathia Yasmine |
Editor | : | Sheila Respati |
KOMENTAR