Pemerintah akan mengenakan pajak pada produk maupun jasa digital luar negeri mulai 1 Juli 2020. Adapun tarif pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tersebut sebesar 10 persen.
Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48 Tahun 2020, yang merupakan aturan turunan dari Perppu Nomor 1 Tahun 2020.
Berdasarkan bahan pemerintah ke DPR RI, potensi pajak tersebut dihitung dari tujuh transaksi digital saat ini, yang selanjutnya dikenakan tarif PPN 10 persen.
"Dengan potensi yang disampaikan ada Rp 102 triliun potensi transaksi, sehingga kalau ditarik 10 persen, maka ada potensi Rp 10 triliun," kata Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi PDIP Indah Kurnia dalam video conference.
Untuk perhitungannya, transaksi dari perangkat lunak telepon genggam mencapai Rp 44,7 triliun, media sosial dan layanan over the top sebesar Rp 17,07 triliun, hak siaran atau layanan televisi berlangganan Rp 16,49 triliun, serta sistem perangkat lunak dan aplikasi sebesar Rp 14,06 triliun.
Selain itu, transaksi digital dari penjualan film sebesar Rp 7,65 triliun, perangkat lunak khusus seperti perangkat mesin dan desain sebesar Rp 1,77 triliun, serta game, video, dan musik digital sebesar Rp 880 miliar.
Adapun total dari transaksi digital tersebut sebesar Rp 102,62 triliun. Sehingga jika ditarik PPN sebesar 10 persen, maka potensi penerimaannya sebesar Rp 10,2 triliun.
Indah menilai, penarikan pajak bagi platform digital merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mendorong penerimaan negara. Apalagi, kebutuhan pembiayaan untuk penanggulangan dampak COVID-19 juga terus meningkat.
Defisit fiskal tahun ini diproyeksi melebar hingga 6,34 persen atau setara Rp 1.039,2 triliun terhadap produk domestik bruto (PDB). Belanja negara diproyeksi naik menjadi Rp 2.738,4 triliun, sementara pendapatan turun menjadi Rp 1.699,1 triliun.
"PMK 48 ini sebagai upaya Kemenkeu sebagai bendahara negara mencari sumber pembiayaan, meskipun menurut saya angkanya sampai Rp 10 triliun, tapi ada tantangan yang dihadapi bersama," jelasnya.
Namun demikian, Indah menyarankan agar pengenaan PPN terhadap produk atau jasa digital impor bisa dilakukan secara bertahap. Adapun produk digital yang bersifat produktif, seperti Zoom, Microsoft Office 365, atau e-book, bisa ditunda di masa pandemi saat ini.
“Implementasinya pun bisa bertahap, mungkin yang produktif tidak disentuh dulu. Tapi yang bersifat konsumtif, entertain, seperti Netflix, Spotify itu. Jadi tidak menjadi prioritas kalau yang produktif,” ujarnya.
Menurut dia, pengenaan pajak juga akan mempengaruhi masyarakat. Apalagi di tengah pandemi virus corona saat ini sebagian masyarakat mengalami penurunan pendapatan, sementara kegiatan kerja tetap berjalan secara virtual.
Selain itu, pengenaan PPN untuk platform digital pun tak ada pengkreditan atau pengurangan. Sehingga tarif sebesar 10 persen diprediksi akan dibebankan juga ke konsumen.
“Beda misalnya kalau ada PPN bangunan hanya 2 persen, karena dianggap bangun sendiri dan sudah belanja semen dan batu bata, pasir dan lainnya, sehingga kalau bangun sendiri hanya 2 persen,” jelasnya.
Indah juga menyarankan agar pemerintah memberikan sosialisasi dan edukasi secara menyeluruh mengenai pajak platform digital. Sehingga masyarakat bisa menerima jika nantinya tagihan atau biaya langganan pada layanan digital tersebut mengalami kenaikan.
“Saran saya pertama, tentu kita harapkan sosialisasi dan edukasi masif kepada petugas pajak dan konsumen kita, agar mereka bisa menerima PMK 48 dengan penuh kesadaran, petugas pajak juga edukasinya jelas,” tambahnya.
Penulis | : | Adam Rizal |
Editor | : | Adam Rizal |
KOMENTAR