Memunculkan hasil bias ras Keputusan tiga perusahaan itu tentu mendapat sambutan dari para aktivis HAM, terutama yang sudah lama mengkritik penggunaan teknologi pengenal wajah.
Untuk diketahui, kepolisian AS memasang bodycam atau kamera kecil yang dipasang di baju aparat. Sebagian di antaranya memiliki teknologi pengenal wajah. Para pegiat HAM sudah lama mengecam penggunaan teknologi pengenal wajah yang disebut melanggar privasi warga negara. Ditambah perdebatan soal isu rasial di penggunaan teknologi biometrik.
Bahkan, Partai Demokrat menyelidiki, apakah FBI dan lembaga federal lain menggunakan software pengawasan untuk menghadapi peserta aksi protes kematian George Floyd.
Tahun lalu, Institute Standart Teknologi AS (NIST) menerbitkan sebuah laporan, bagaimana rasisnya teknologi pengenal wajah. Ada dua metode yang banyak digunakan teknologi pengenal wajah.
One-to-one matching dan one-to many. Singkatnya, one-to-one adalah metode yang mencocokkan satu orag ke satu orang lainnya dari database, salah satunya adalah dengan mencocokkan foto.
Metode ini biasanya digunakan untuk fitur face unlock di smartphone, atau mengecek paspor saat di imigrasi. Lalu one-to-many adalah metode untuk mencocokkan apakan satu foto ada yang cocok dengan kumpulan foto lainnya yang ada di database. Nah, metode ini lah yang biasanya digunakan departemen kepolisian. Ada empat data set yang dihimpun dalam database.
Data tersebut terdiri dari data orang yang tinggal di AS, foto orang di aplikasi pengajuan imigrasi, foto dari imigran yang melewati perbatasan, dan foto dari aplikasi visa.
Total ada 18,27 juta foto dari 8,49 juta orang. Hasilnya, metode one-to-one memiliki tingkat false positive tinggi untuk mendeteksi wajah Asia dan Afrika-Amerika, dibanding wajah ras Kaukasian.
False positive di sini merujuk pada hasil yang mungkin kedua data yang disandingkan cocok namun bukan orang yang sama. Sementara metode one-to-many, tingkat false positive-nya teramat buruk untuk wanita Afrika-Amerika.
Hal ini membuat mereka rentan akan kasus salah tangkap, seperti yang banyak diprotes para pegiat HAM di Amerika Serikat. Desakan regulasi IBM, Amazon, dan Microsoft senada mendesak pemerintah untuk membuat undang-undang khusus penggunaan teknologi pengenal wajah, terutama oleh para penegak hukum.
"Kami percaya sekarang adalah saatnya untuk memulai dialog nasional tentang bagaimana teknologi pengenalan wajah seharusnya digunakan oleh lembaga penegak hukum domestik," tulis IBM dikutip Sputniknews.
Suara yang sama dilantangkan Smith. Ia berharap, selama moratorium penjualan teknologi pengenal wajah Microsoft, pemerintah merancang undang-undang nasional soal penggunaan teknologi ini, berlandaskan hak asasi manusia.
Mereka sadar, perusahaan tidak bisa berdiri sendiri dalam penerapan teknologi pengenal wajah. Aktivis HAM pun mendukung langkah perusahaan Silicon Valley.
"Belum ada standar tentang bagaimana mengevaluasi facial recognition, dan bagaimana mempertimbangkan apakah masuk akal atau tidak teknologi itu dipakai," kata Kris Hammon, profesor ilmu komputer Notrhwestern University.
Hammon tidak mempermasalahkan penggunaan teknologi ini untuk fitur face unlock, atau semacamnya. Sebab hal itu berguna untuk meningkatkan keamanan ponselnya. Namun untuk keperluan penegakan hukum, lain cerita.
"Tapi ketika saya melihat teknologi yang sama digunakan untuk keperluan hukum, pertanyaannya adalah apakah hasil teknologi ini bakal diterima oleh pengadilan? Siapa yang akan menjawabnya?" tanya Hammon.
Penulis | : | Adam Rizal |
Editor | : | Adam Rizal |
KOMENTAR