Oleh: Amir Syafrudin
Email: amir.syafrudin@gmail.com
Pandemi atau bukan, pengembangan produk dalam setiap organisasi, menggunakan metode apa pun, harus memiliki satu hal krusial sebelum pengembangannya dimulai, yaitu visi produk.
Akan tetapi, arti “visi” di sini bukanlah hal abstrak yang ada di benak pemilik ide. Visi produk bukan sekadar gambaran kasar terkait produk yang ingin dibuat. Apa yang akan dibuat, siapa yang akan menjadi penggunanya, nilai tambah apa yang akan diperoleh pengguna dengan menggunakan produk itu, lalu bagaimana cara produk itu mewujudkan nilai tambah tersebut adalah beberapa pertanyaan mendasar yang harus dapat dijawab dalam visi produk yang baik.
Visi produk yang baik akan berfungsi sebagai kompas [1]. Kompas tersebut akan digunakan sebagai penunjuk arah dalam pengembangan produk agar pekerjaan yang dilakukan menjadi efektif, efisien, dan memberikan hasil yang optimal. Fungsi kompas tersebut menegaskan bahwa visi produk harus menjelaskan kebutuhan apa saja yang harus dipenuhi oleh produk dan fungsi-fungsi apa saja yang harus disediakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Akan tetapi, hal itu bukan berarti visi produk itu harus menggambarkan produk selengkap mungkin dengan berbagai “aksesori” terkait.
Dengan adanya kesadaran bahwa kebutuhan riil untuk sebuah produk sangat mungkin berubah, maka orientasi penyusunan visi produk yang ideal adalah nilai tambah. Kebutuhan dapat berubah, fungsi-fungsi pun ikut berubah, perubahannya pun dapat terjadi kapan saja, tapi orientasi pengembangan produk tetap nilai tambah. Nilai tambah itulah yang harus menjadi perhatian utama.
Pengembangan produk harus fokus pada fungsi-fungsi yang memberikan nilai tambah, bukan masalah lengkap atau tidak. Urgensi setiap fungsi terlihat jelas dalam visi produk sehingga prioritas pengembangan produk pun otomatis terbentuk. Dalam kondisi tersebut, fungsi visi produk sebagai kompas dapat terwujud.
Pentingnya visi produk adalah sesuatu yang logis dan mudah dipahami. Mudah untuk dikatakan bahwa setiap orang yang terlibat dalam sebuah proyek dalam organisasi mana pun memahami hal tersebut.
Keseimbangan Mimpi dan Kenyataan
Permasalahannya adalah proses yang dilakukan untuk merumuskan visi produk belum tentu sejalan dengan pemahaman tersebut.
Ada kalanya visi produk sifatnya benar-benar terbatas. Salah satu hal yang memicu kondisi tersebut adalah ide-ide besar yang belum matang atau belum dirumuskan secara utuh. Akibatnya visi produk yang ada terkesan seperti angan-angan karena tidak memiliki justifikasi yang kuat bagi setiap fungsi yang dibutuhkan produk tersebut.
Sebaliknya, visi produk bisa jadi terlalu komprehensif. Hal itu terjadi akibat proses perumusan yang sangat mendalam sehingga setiap rincian informasi yang dibutuhkan telah tersedia. Berbeda dengan visi produk yang terbatas, visi produk yang komprehensif seperti telah dilengkapi dengan justifikasi yang kuat. Permasalahannya adalah visi produk seperti ini berisiko menjadi visi produk yang bersifat kaku. Perubahan kebutuhan yang bermunculan berisiko diabaikan atau bahkan ditolak. Masalahnya menjadi lebih rumit lagi bila proses perumusannya di awal tidak mempertimbangkan masukan atau kebutuhan dari target penggunanya.
Untuk menyusun visi produk yang tepat, kita perlu mencari keseimbangan yang tepat antara “mimpi” dan kenyataan. Ide-ide besar dapat menjadi pemicu, tapi turunan ide-ide tersebut tetap harus digali lebih lanjut. Target pengguna, termasuk pemangku kepentingan lain, harus dilibatkan agar visi produk tidak disusun menggunakan “kacamata kuda”. Pendapat para ahli sekalipun mungkin saja luput dalam menggambarkan kebutuhan riil target pengguna dan nilai tambah yang sebenarnya diharapkan oleh target pengguna.
Kelengkapan sebuah produk tetap perlu dijadikan bahan pertimbangan, tapi lengkap bukan berarti tidak perlu atau bahkan tidak boleh diubah sama sekali. Dengan begitu, visi produk yang tersusun nantinya tidak terlalu longgar, tidak terlalu kaku, memiliki justifikasi yang kuat, memiliki skala prioritas yang jelas, dan mampu menunjukkan arah pengembangan produk yang jelas.
Metode Design Sprint
User Research (Riset Pengguna) adalah cara yang umum dilakukan untuk memperoleh visi produk yang tepat, tapi waktu dan sumber daya yang dibutuhkan umumnya sangat besar [2].
Metode yang lebih efektif, efisien, dan mendapatkan hasil yang sama adalah Design Sprint. Design Sprint dapat digunakan untuk membuat rancangan sebuah produk dalam waktu yang relatif singkat. Akan tetapi, rancangan yang dimaksud bukan sekadar sketsa atau replika sebuah produk yang dibuat oleh tim perancangan produk.
Dalam Design Sprint, perancangan diikuti dengan pembuatan prototipe yang dapat diuji oleh target pengguna. Dalam penerapannya, target pengguna pun dilibatkan dari awal proses, bukan hanya pada saat uji coba prototipe. Tujuan utama dari penerapan Design Sprint adalah memperpendek siklus perolehan umpan balik dari target pengguna tanpa harus mengeluarkan waktu, tenaga, dan biaya yang tinggi untuk membuat produk [3].
Dengan menjalankan Design Sprint, konfirmasi atau bahkan afirmasi ide-ide dapat diwujudkan. Risiko sebuah ide tumbuh menjadi sebuah produk atau bagian dari sebuah produk yang tidak akan digunakan oleh target pengguna dapat diminimalkan. Prioritas dalam pengembangan produk pun akan terbentuk secara otomatis karena nilai tambah dari setiap pekerjaan yang perlu dilakukan menjadi lebih jelas.
Pada akhirnya, visi produk yang berhasil disusun adalah visi produk yang solid dan dapat mengarahkan pengembangan produk untuk menghasilkan produk layak pakai dengan nilai tambah yang optimal.
Referensi
[1] | IAPM, IAPM Agile Project Management Guide 2.0, Liechtenstein: International Association of Project Managers, 2016. |
[2] | J. Courtney, “User Research is Overrated,” 18 Februari 2017. [Online]. Available: https://medium.muz.li/user-research-is-overrated-6b0fe101d41. [Diakses 4 Juni 2020]. |
[3] | GV, “The Design Sprint,” [Online]. Available: https://www.gv.com/sprint/. [Diakses 28 Mei 2020]. |
Penulis | : | Liana Threestayanti |
Editor | : | Liana Threestayanti |
KOMENTAR