Riset Algorithm Watch dan European Data Journalism Network (EDJNet) mengungkapkan sistem algoritma Instagram memprioritaskan unggahan foto-foto dengan pakaian terbuka, seperti menampilkan pria bertelanjang dada dan wanita. Riset ini dilakukan dari para pengguna Instagram yang tinggal di Eropa.
Hasil riset dilakukan dengan memilih 37 relawan dari 12 negara yang mana 14 di antaranya berjenis kelamin pria. Mereka menggunakan Instagram untuk mengiklankan suatu merek atau brand mulai dari perusahaan di sektor makanan, perjalanan, kebugaran, fashion, dan kecantikan.
Setelah itu mereka menginstal Add-on. Add-on ini secara otomatis akan membuka beranda Instagram secara berkala dan mencatat postingan mana yang muncul paling atas di halaman feed (umpan) akun Instagram ke-37 relawan tersebut.
Mereka menganalisis 2.400 foto dan hasilnya 54 persen di antaranya berisi foto wanita berbikini, 28 persen unggahan pria telanjang dada, dan 18 persen menampilkan foto unggahan makanan dan yang lainnya.
Berdasarkan data Algorithm Watch dan EDJNet, 30 persen dari postingan tersebut berasal dari akun yang sama.
Setelah itu, para peneliti berinisiatif untuk bertanya langsung ke Facebook terkait algoritma yang ditetapkan oleh Instagram sambil membagikan hasil riset mereka.
Namun, perusahaan yang digawangi Mark Zuckerberg itu malah mencemooh hasil penelitian Algorithm Watch dan EDJNet.
"Penelitian ini cacat dalam beberapa cara dan menunjukkan kesalahpahaman tentang cara kerja Instagram. Kami memberi peringkat kepada postingan di feed Anda berdasarkan konten akun yang Anda minati, bukan pada faktor arbitrer seperti foto dengan pakaian renang," kata Facebook.
Menanggapi pernyataan Facebook itu, Algorithm dan EDJNet tak gentar dan membeberkan bahwa perusahaan raksasa media sosial itu secara otomatis menganalisis gambar dengan perangkat lunak yang dikenal sebagai visi komputer sebelum algoritma memutuskan foto mana yang akan ditampilkan di feed pengguna Instagram.
Software tersebut menarik kesimpulan secara otomatis dari satu set data yang diolah dari ribuan gambar.
Metode ini sebetulnya sudah diketahui oleh para peneliti, mereka berpendapat bahwa sistem seperti itu mereplikasi dan memperluas bias data mereka yang mengarah pada korelasi palsu.
Korelasi palsu itu pernah dialami oleh salah satu seniman asal Brasil pada Desember 2019. Ia bermaksud untuk mengiklankan salah satu postingannya tapi ditolak Instagram karena alasan konten tersebut berisi kekerasan.
Padahal, gambar yang hendak ia iklankan hanya seorang anak laki-laki dan pembalap Formula Satu Lewis Hamilton yang keduanya berkulit gelap.
Masalah lain yang disoroti Algorithm Watch dan EDJNet adalah belum ada otoritas di Uni Eropa yang memiliki kemampuan atau menghasilkan alat untuk mengaudit Instagram.
Para peneliti menyimpulkan bahwa, secara tidak langsung konten kreator di Instagram dipaksa untuk mengunggah foto yang menampilkan tubuh mereka untuk menjangkau audiens yang lebih besar.
Sejauh ini, Facebook mengklaim bahwa hampir 140 juta pengguna yang memanfaatkan layanan media sosial mereka berasal dari Benua Eropa berdasarkan data internal bulan April 2020. Mereka berada direntang umur 18 sampai 24 tahun.
Penulis | : | Adam Rizal |
Editor | : | Adam Rizal |
KOMENTAR