Facebook akhirnya mengambil sikap atas unggahan pengguna yang bernada kebencian dan menghasut. Pada unggahan seperti itu, Facebook akan memberikan label dan link ke situs otoritas resmi. Aturan ini juga berlaku pada unggahan politisi, termasuk Presiden AS Donald Trump.
Hal ini diungkapkan CEO Facebook, Mark Zuckerberg, pada sebuah unggahan di akun resminya. “Aturan yang akan diimplementasikan ini bertujuan untuk menjawab realita dan tantangan yang dihadapi publik hari ini,” ungkap Zuckerberg.
Baca Juga: Facebook Pecat Karyawan yang Berani Mengkritik Mark Zuckerberg
Ungkapan Zuckerberg tersebut mengacu pada kondisi politik dan sosial di Amerika Serikat saat ini, yang terpecah-belah pada isu sensitif seperti wabah Covid-19 dan kekerasan polisi. Facebook dianggap menjadi bagian dari masalah karena menjadi sarana penyebaran berita bohong dan isu yang memecah belah.
Berubah Drastis
Akan tetapi, ungkapan Zuckerberg tersebut berbeda 180 derajat dengan sikap Facebook sebelum ini. Contohnya ketika Trump marah besar kepada Twitter karena memberi label “fact check” pada tweet-nya. Kala itu, Zuckerberg memihak kepada Trump dengan menyebut platform media sosial seharusnya mengedepankan kebebasan berpendapat dan tidak menjadi “hakim” yang menilai kebenaran unggahan pengguna.
Sikap pasif Facebook semakin terlihat saat akun Instagram Donald Trump mengunggah status bernada ancaman kepada demonstran Black Lives Matter. Di sisi lain, Facebook tetap menerima iklan politik yang sering kali menyebarkan ungkapan kebencian dan memecah belah.
Sikap Facebook ini pun menimbulkan kritikan tajam. Sebagai media sosial dengan jumlah pengguna terbesar, Facebook memiliki peran krusial dalam menyebarkan informasi dan sentimen publik. Namun sikap cuek Facebook ini seperti menegaskan, mereka lebih mementingkan bisnis dibanding keharmonisan publik.
Kekecewaan inilah yang memunculkan gerakan Stop Hate for Profit. Gerakan ini mendorong perusahaan untuk boikot Facebook dan berhenti memasang iklan di sana. Gayung pun bersambut. Beberapa perusahaan kini memutuskan untuk menghentikan pemasangan iklan di Facebook dan Instagram.
Tidak tanggung-tanggung, yang melakukan boikot adalah perusahaan raksasa. Contohnya perusahaan consumer goods terbesar dunia, Unilever, yang menghentikan iklan di Facebook sampai akhir tahun 2020 ini. Contoh lain adalah Verizon, operator telekomunikasi AS yang tiap bulan bisa menghabiskan US$2 juta. Nama lain yang ikut memblokir Facebook adalah Coca-cola, Pepsi, dan Honda.
Gelombang boikot ini pun berdampak pada saham Facebook. Pada penutupan saham Jumat (26/6) kemarin, harga saham Facebook turun sampai 8,3%, atau terburuk dalam tiga bulan terakhir. Jika dihitung, penurunan itu membuat Facebook kehilangan nilai pasar sampai US$56 miliar.
Atau jika dikaitkan dengan kepemilikan saham, kekayaan Zuckerberg turun sampai US$7,2 miliar atau Rp.100 triliun. Tak heran jika Zuckerberg langsung mengambil langkah cepat untuk mengatasi sentimen negatif ini.
Menarik ditunggu apakah perubahan sikap ini akan mengembalikan pemasang iklan ke platform Facebook.
Penulis | : | Wisnu Nugroho |
Editor | : | Wisnu Nugroho |
KOMENTAR