Menurut laporan indeks adopsi 5G, Indonesia cukup tertinggal dibanding negara tetangga dalam urusan kesiapan jaringan 5G. Indonesia berada di belakang Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam.
Dari 12 negara dalam daftar, Indonesia menempati urutan ke-11, unggul satu peringkat di atas Filipina. Indonesia mendapat poin 37,2, lebih kecil dibanding Vietnam yang mendapat poin 39,9. Sementara Malaysia, mendapat poin 50,3 dan Thailand 40,9 poin.
Ivan Samuels, peneliti dari Institut Teknologi Bandung (ITB) mengatakan faktor penting yang membuat Indonesia tertinggal adalah minimnya permintaan dan infrastruktur 5G.
"Masih banyak PR yang harus kita kebut ke depan," kata Ivan dalam acara Unlocking 5G Potential for Digital Economy in Indonesia yang digelar lewat Zoom.
Ivan mengatakan, idealnya, jaringan 5G di Indonesia digelar paling lambat tahun 2023. Sebab, dari hasil penelitian menunjukkan jaringan 5G berpeluang menyumbang 9,3 - 9,5 persen terhadap product domestik bruto (PDB) Indonesia yang diproyeksikan mencapai Rp 2.802 - Rp 2.874 triliun pada tahun 2030.
Apabila tidak segera diimplementasikan, Ivan mengatakan Indonesia akan mengalami potential loss atau kehilangan potensi ekonomi besar yang diakumulasikan senilai Rp 1.600 triliun pada tahun 2030.
"Tapi kita juga harus realistis bahwa ada beberapa kendala, khususnya intrafungsi, kompensasi dan segala macam," imbuh Ivan.
Ivan pun memberikan beberapa rekomendasi percepatan 5G. Salah satunya adalah memasukan percepatan 5G sebagai agenda prioritas nasional.
"Dengan masuknya 5G sebagai prioritas nasional maka akan mempermudah koordinasi dan birokrasinya menjadi lebih jelas dan mudah, khususnya untuk mempromosikan industri serta daya saing industri," jelas Ivan.
Ia juga menilai pemerintah bisa membuat rencana Koneksivitas dan Broadband Nasional 2021-2025 untuk menstimulasi permintaan dan pasokan layanan baru. Ivan kemudian mengusulkan skema insfrastructure sharing atau berbagi infrastruktur dan menguatkan kolaborasi antara pemerintah pusat, lokal, dan perusahaan BUMN.
"Tapi perlu diperhatikan karena 5G membutuhkan dana yang besar untuk deployment kita harus membuat metode assignment yang tidak memberatkan operator seluler, sehingga keberlangsungan bisnis tetap bisa terjaga.
Tidak mau mengulangi kesalahan Ismail, Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (Dirjen SDPPI) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yang turut hadir dalam acara tersebut mengatakan untuk menggelar 5G tidak cuma frekuensi yang disiapkan, tapi juga end-to-end ecosystem. Selain itu, instalasi infrastruktur 5G juga berbeda dengan teknologi 4G atau generasi internet sebelumnya.
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Adam Rizal |
Editor | : | Liana Threestayanti |
KOMENTAR