Sejumlah perusahaan rintisan (startup) unicorn Indonesia, dikabarkan menjadi incaran investor Asia untuk melakukan penawaran umum perdana atau IPO.
Menurut bankir dan pengacara yang familiar dengan isu ini, beberapa perusahaan akuisisi bertujuan khusus atau SPACs (special purposes acquisition companies) kabarnya mengincar Gojek, Bukalapak, dan Traveloka.
Selain itu, mereka juga mengincar startup asal Singapura, Grab. Sekadar informasi, perusahaan SPACs memiliki misi mengumpulkan pendanaan lalu mengakuisisi perusahaat privat untuk membantu mereka menjadi perusahaan publik.
Beberapa konglomerat di belakang perusahaan SPACs, seperti pengusaha asal Hong Kong Richard Li dan Peter Thiel (Bridgertown Holdings Ltd), CITIC Capital asal China, pebisnis asal Singapura, David Sin (SC Health Corporation), dan mantan manajer pengelola investasi global, George Raymond Zage (Farallon Capital Management) sedang merayu startup unicorn Asia Tenggara.
"Saat ini, tidak ada obrolan tanpa membahas SPACs di Asia. Asia Tenggara adalah pasar utama mengingat jumlah perusahaan yang didukung teknologi sedang berkembang pesat," kata Sarab Bhutani, Kepala Perbankan Investasi Asia Tenggara di Nomura Holdings.
Grab dan Gojek menolak mengomentasi isu ini. Sementara Bukalapak belum memberikan tanggapan, sebagaimana dirangkum Reuters.
Sementara itu, Traveloka mengatakan akan melakukan IPO dalam waktu dekat dan sedang mengevaluasi tawaran merger dengan perusahaan SPACs sebagai salah satu pilihan.
Baru-baru ini, salah satu perusahaan SPACs, Bridgertown Holdings Ltd juga dikabarkan mendekati Tokopedia untuk melakukan merger. Bridgertown Holdings mengumpulkan 595 juta dolar AS untuk mengakuisisi sektor teknologi, layanan keuangan, dan media di Asia Tenggara.
"Sebagian besar perusahaan berkembang di Asia Tenggara menyadari 'exit strategy' SPACs dan tertarik mengeksplorasi merger dengan SPACs," kata Bhutani.
Menurut Peter Kuo, mitra perusahaan Canyon Bridge mengatakan bahwa perusahaan startup di Asia Tenggara masih sedikit yang berpengalaman dengan IPO. Sehingga, opsi merger dengan SPACs lebih terbuka.
Beberapa bankir di Asia memprediksi gelombang merger akan terjadi dalam beberapa tahun ke depan ketika target SPACs untuk mengakuisisi startup incarannya terpenuhi, melalui sebuah proses yang dinamakan "de-SPACing".
"Ada 200 unicorn di Asia. De-SPACing akan dimulai dengan perusahaan dengan pertumbuhan tinggi," jelas Christopher Laskowski, Kepala Tim Korporasi dan Investasi Perbankan, Hong Kong Citi.
Dia memperkirakan hal itu akan menjadi fenomena industri yang berdampak luas. Saat ini, sejumlah perusahaan di Asia mendapatkan valuasi yang berlipat ganda setelah melakukan IPO. Sebab, para investor memanfaatkan likuiditas pasar yang belum pernah terjadi sebelumnya.
"Karena banyak perusahaan di Asia yang menunggu menjadi perusahaan publik, mereka mungkin melihat SPACs sebagai alternatif untuk melakukan IPO. Saya membayangkan akan lebih banyak (IPO) yang terjadi," jelas Jonathan Zhu, Direktur Pelaksana, Bain Capital Private Equity, Hong Kong.
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Adam Rizal |
Editor | : | Liana Threestayanti |
KOMENTAR