Saat 1,5 miliar siswa di dunia tidak dapat melakukan pembelajaran tatap muka akibat pandemi COVID-19, di saat itu pula ancaman siber mengintai dunia pendidikan.
Sebenarnya perubahan dalam sistem pendidikan telah terjadi sejak lama, dengan digitalisasi menjadi instrumen utama transformasi ini. Namun sebuah terobosan terjadi tahun ini, ketika sekitar 1,5 miliar siswa tidak dapat bersekolah secara fisik akibat pandemi COVID-19.
Akibatnya, sistem pendidikan di seluruh dunia mengalami perubahan signifikan. Para pengajar "dipaksa" menguasai berbagai platform baru, seperti Zoom, untuk mengajar jarak jauh tanpa mengurangi kualitas pendidikan.
Digitalisasi pendidikan diprediksi masih akan terus berlanjut. Dan, menurut Kaspersky, ini bisa menjadi hal yang baik sekaligus buruk. Di satu sisi, terdapat berbagai kemungkinan dan platform baru, termasuk yang pada awalnya tidak ditujukan untuk pendidikan.
Contoh yang bagus adalah TikTok. Awalnya, para pengajar tidak menggunakan platform ini, dan lebih memilih YouTube, tetapi pada tahun 2020 TikTok telah menjadi platform populer untuk memproduksi konten pendidikan.
Di sisi lain, banyak dari alat pendidikan digital baru ini tidak hanya meningkatkan pengalaman baru dalam pendidikan, tetapi juga memperkenalkan ancaman baru. Berikut Kaspersky ungkapkan beberapa potensi risiko terbesar yang dapat terjadi di sektor pendidikan di tahun mendatang.
1.Pengembangan Sistem Manajemen Pembelajaran (Learning Management System)
LMS memungkinkan pengajar untuk melacak proses pembelajaran dan menunjukkan perkembangan siswa, serta aspek yang membutuhkan perhatian dari pengajar. Pasar untuk sistem LMS baru terlihat masih akan terus berkembang.
Seiring dengan bertambahnya jumlah dan popularitas LMS, jumlah situs phishing yang terkait dengan layanan pendidikan dan konferensi video juga akan bertambah. Tujuan utama mereka adalah mencuri data pribadi atau menyebarkan spam di komunitas pendidikan.
Pada pertengahan tahun 2020 saja, sebanyak 168.550 pengguna unik menghadapi berbagai ancaman yang didistribusikan dengan kedok platform pembelajaran online/aplikasi konferensi video populer. Angka tersebut memperlihatkan peningkatan 20,455% jika dibandingkan dengan tahun 2019.
Selain itu, sistem LMS juga membuka potensi untuk hal baru tidak terduga lainnya, seperti ancaman Zoombombing. Apalagi jika sekolah terus melakukan pembelajaran jarak jauh, sistem ini akan terus menjadi vektor serangan yang populer.
2.Lebih banyak perhatian akan diberikan pada layanan video, seperti Youtube, Netflix, SchoolTube, KhanAcademy, dan lain-lain.
Akan ada lebih banyak kreasi konten video pendidikan sebagai produk jadi dan digunakan sebagian oleh guru di kelas. Faktanya, sekitar 60% guru sudah menggunakan YouTube di kelas.
Meskipun video dapat menjadi alat pendidikan yang ampuh, ada juga banyak konten yang tidak sesuai usia yang dapat ditemukan di layanan video populer, dan pembuat konten tersebut dapat menggunakan topik pendidikan sebagai kedok (YouTube/TikTok/Instagram, dll). Ini bukan ancaman baru, tetapi dengan pertumbuhan digitalisasi, relevansinya dapat semakin berkembang.
3.Penggunaan platform media sosial dalam proses pendidikan.
Media sosial (Instagram, Twitter, dan lain-lain) dapat menjadi cara untuk mendorong keterlibatan siswa selama dan setelah kelas, dan berfungsi sebagai cara bagi guru untuk terhubung dengan siswa mereka.
Namun, ada juga beberapa ancaman terkait regulasi konten. Saat ini, pengajar atau administrator layanan harus mengatur konten di LMS dan aplikasi konferensi video secara manual - ini menjadi tugas yang besar. Memoderasi konten di platform media sosial atau obrolan grup online adalah hal yang lebih besar, terutama di grup atau obrolan publik. Hal itu membuka jalan bagi konten yang tidak sesuai, komentar yang menyinggung, dan cyberbullying.
Kekhawatiran lainnya adalah privasi. Aplikasi atau layanan yang tidak dikonfigurasi dengan benar adalah cara populer untuk mengeksploitasi data pribadi, bahkan tanpa alat dan kerentanan khusus. Dalam kasus terkait, siswa dan tenaga pengajar dapat menjadi korban serangan semacam itu.
4.Gamifikasi proses pendidikan.
Hampir semua orang di sekolah sudah mengetahui tentang belajar dengan Minecraft. Tetapi selain game ini, ada banyak layanan yang memungkinkan untuk kegiatan belajar sambil bermain (While True: Learn, Classcraft, Roblox, dan lain-lain).
Namun, segera setelah memasukkan game ke dalam kelas, maka itu akan berpotensi membuka risiko yang sama dengan yang para siswa hadapi saat bermain game dari rumah: penipuan dan penindasan dari orang tidak dikenal (troll), file berbahaya yang disamarkan sebagai pembaruan atau add-on game, dan lain lain.
5.Faktanya, kekhawatiran terbesar dan terdekat saat ini adalah mengenai privasi.
Mengelola privasi di layanan apa pun membutuhkan klarifikasi dari pengguna, tetapi banyak pengguna (terutama anak-anak yang lebih muda) tidak tahu cara mengontrol setelan privasi dengan tepat.
Selain itu, akan ada banyak layanan yang menyediakan alat untuk mengatur proses pendidikan secara online, dan para pengajar kemungkinan besar akan menggunakan lebih dari satu. Akibatnya, untuk setiap alat dalam setiap kasus para pengajar perlu memberikan perhatian khusus tidak hanya untuk melindungi informasi pribadi mereka sendiri, tetapi juga data siswa.
Penulis | : | Liana Threestayanti |
Editor | : | Liana Threestayanti |
KOMENTAR