Poin Utama: Pemanfaatan blockchain di industri logistik bisa diinisasi pemerintah demi meningkatkan efisiensi. Faktor yang tak kalah penting, solusi tersebut harus dikelola secara netral.
Industri logistik Indonesia perlahan kembali ke kondisi normal. Pertumbuhan tajam di industri e-commerce sedikit banyak mengkompensasi penurunan logistik di sektor B2B yang terpukul akibat kondisi ekonomi. Seperti dikutip dari Investor Daily, industri logistik memang akan turun 5% tahun ini, namun diprediksi tumbuh 10-12% di tahun depan.
Dinamika industri logistik ini juga dirasakan ATT Logistics, perusahaan logistik Indonesia yang banyak menangani pengiriman produk dari dan ke luar negeri. “Pada bulan Maret atau awal-awal pandemi, memang terjadi penurunan dari sisi volume,” ungkap Bagus Santoso, IT Director ATT Group.
Penyebab utamanya adalah penurunan frekuensi pesawat ke Indonesia, yang memaksa ATT Logistics menggunakan pesawat sewaan untuk membawa produk ke Indonesia. “Namun dari April sampai saat ini, kondisinya sudah kembali ke posisi normal,” ungkap Bagus.
Meski fase terburuk sudah terlewati, Bagus melihat pandemi ini seharusnya memberi perspektif baru bagi industri logistik. Yaitu, pentingnya membangun sistem untuk kolaborasi antar pelaku industri logistik. “Tanpa pandemi, kolaborasi ini mungkin hanya sebagai opsi. Namun saat pandemi terjadi, kolaborasi antar perusahaan logistik jauh lebih dibutuhkan,” ungkap Bagus.
Bagus mengambil contoh kolaborasi di pemesanan kapasitas logistik (booking space) di pesawat. Selama ini, perusahaan logistik harus sendiri-sendiri memesan kapasitas ini ke pihak maskapai. “Jadi ketika kami pesan kapasitas 4 ton, harus terisi semua. Jika ternyata kurang [dari kapasitas itu], kami harus membayar kekurangannya,” cerita Bagus.
Untuk mengatasi masalah ini, biasanya perusahaan logistik menjalin kerjasama B2B dengan perusahaan logistik lain. Jika ada booking space tersisa, mitra perusahaan logistik tersebut bisa memanfaatkannya. Namun kerjasama B2B ini lingkupnya terbatas dan sifatnya manual.
Bagus melihat, seharusnya ada platform yang membuka informasi keterisian booking space ini, sehingga semua perusahaan logistik bisa saling berkolaborasi. “Semua pihak bisa tahu berapa besar kapasitas yang tersisa maupun rutenya,” ungkap Bagus. Platform ini tidak saja meningkatkan efisiensi perusahaan logistik, namun juga maskapai penerbangan. “Karena ketika flight berkurang, kargo mereka tetap terisi optimal,” ungkap Bagus.
Platform Independen
Untuk platform kolaborasi ini, Bagus melihat teknologi blockchain bisa menjadi solusi. Dengan konsep yang terbuka, blockchain dapat menjadi platform yang dapat digunakan seluruh ekosistem industri logistik, mulai dari perusahaan logistik, penyedia layanan transportasi, dan pemerintah.
Sebenarnya, Direktorat Jenderal Bea Cukai sudah merintis penggunaan teknologi blockchain dengan mengadopsi platform TradeLens. Akan tetapi, Bagus melihat pelaku industri logistik akan kesulitan dalam mengadopsi platform TradeLens ini. Yang pertama, platform ini dikembangkan oleh pihak ketiga; bukan pihak pemerintah yang relatif lebih netral. Alasan lain, platform ini membutuhkan investasi hardware yang cukup besar, bahkan bagi perusahaan logistik kelas menengah ke atas.
Karena itu, Bagus lebih mengusulkan pemanfaatan INSW (Indonesia National Single Window) sebagai embrio platform blockchain. Alasannya, di INSW sudah berkumpul semua stakeholder, beberapa kementerian dan lembaga seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan pelaku industri. “Inisiatifnya sudah ada, tinggal teknologinya yang dipergunakan untuk memfasilitasi pertukaran data" tambah Bagus.
Penulis | : | Wisnu Nugroho |
Editor | : | Wisnu Nugroho |
KOMENTAR