Proses initial public offering (IPO) dan merger merupakan tahapan wajar yang selanjutnya ditempuh oleh sebuah perusahaan rintisan yang sudah matang, menurut perusahaan modal ventura, Jungle Ventures.
Managing Partners Jungle Ventures David Gowdey mengatakan perkembangan ini sejalan dengan rencana startup unicorn yang siap untuk melantai ke bursa saham (IPO) dalam waktu 12 - 18 bulan ke depan. Sebelumnya, pada bulan Februari lalu, BEI memperkirakan dua perusahaan startup yang siap melantai di bursa pasar modal pada semester 1 tahun ini.
Baca juga: Wow! Ada Startup Unicorn Bakal IPO pada Kuartal 1 2021, Siapa Itu?
“Ada juga kemungkinan merger dua atau lebih raksasa internet yang kini menjadi motor perekonomian ekonomi startup di Asia Tenggara,” imbuh Gowdey.
Di tahun 2021 ini, ada banyak startup yang mulai mengeksplorasi jalur IPO tradisional maupun dengan special purpose acquisition companies (SPAC) atau pra-IPO, seperti yang kabarnya tengah dilakukan oleh Bukalapak dalam rangka listing di Bursa Saham AS.
Meski SPAC merupakan salah satu jalur yang lebih cepat menuju pasar saham AS, namun tetap saja startup harus memiliki skala yang cukup dalam hal valuasi dan kapitalisasi pasar untuk mendapatkan perhatian dari analis serta investor dari kalangan privat dan institusi.
“Konsistensi dan stabilitas operasi mereka yang mampu menjadi proyeksi kinerja keuangan setiap triwulan juga akan menjadi salah satu faktor penentu IPO yang sukses,” kata Gowdey.
Selanjutnya, Gowdey merinci bahwa proses investasi dari perusahaan modal ventura dan jalur SPAC sangat berbeda, para investor yang berpartisipasi lewat jalur SPAC atau pra-IPO adalah investor pasar publik yang masuk lebih dulu untuk mendapatkan keuntungan tambahan sebelum perusahaan resmi melantai di bursa.
“Sementara itu, perusahaan modal ventura justru membantu perusahaan rintisan melewati berbagai tahapan yang menuju untuk mencapai ke tahap IPO atau secara singkatnya membawa startup dari level nol ke level satu,” katanya.
Selain itu David Gowdey memprediksi setelah kelompok startup unicorn go public, kita akan menyaksikan sekelompok startup lain yang mulai mencapai valuasi miliaran dolar di Asia Tenggara. ”Secara alami mereka pun akan tumbuh menjadi perusahaan yang dalam hal ukuran, skala, dan kematangan bisnisnya berada di fase yang siap untuk pergi ke arah yang sama,” katanya.
Namun Gowdey berpendapat bahwa setiap founders tidak membangun bisnis hanya untuk mendapatkan pendanaan semata, tapi untuk membuat bisnis yang dapat bertahan lama. Dengan filosofi Build to Last, Jungle Ventures telah melakukan pendekatan model investasi portofolio yang terkonsolidasi ini.
“Filosofi ini memungkinkan Jungle Ventures untuk membangun perusahaan portofolio pilihan yang meliputi perusahaan unggulan di setiap kategori seperti Kredivo untuk layanan keuangan, Pomelo untuk fast fashion, LivSpace untuk desain rumah dan tempat tinggal, Reddoorz untuk budget travel, dan perusahaan lainnya di Asia Tenggara,” katanya.
Berdasarkan data dari Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (AMVESINDO) menyebutkan bahwa terlepas dari fakta kontraksi perekonomian Indonesia sebagai konsekuensi pandemi, sebanyak 52 startup asal Indonesia berhasil meraup pendanaan sebesar 1,9 miliar dolar AS (27 miliar rupiah) sepanjang tahun 2020.
Meskipun angka pendanaan tersebut mengalami penurunan jika dibandingkan tahun 2019, angka tersebut dinilai masih relatif baik mengingat kondisi perekonomian Indonesia yang mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar 3,49 persen (yoy). Lebih lanjut, penurunan ini seolah menjadi konsekuensi atas tertundanya berbagai kesepakatan pendanaan akibat pembatasan mobilitas yang memberikan dampak secara regional
Indonesia sebagai rumah dari 196,7 juta pengguna internet dan memiliki tingkat penetrasi internet 73,7% merupakan tempat ideal untuk tumbuh kembang startup yang berorientasi digital.
Gowdey mengatakan Singapura dan Jakarta akan tetap menempati dua dari 10 tempat teratas untuk kota-kota dengan investasi VC tertinggi pada tahun 2019, sehingga dapat dikatakan bahwa startup Asia Tenggara tidak akan kekurangan peluang pendanaan. “Apalagi melihat keberadaan ekosistem usaha yang sangat kuat di Jakarta dengan banyak dana yang berfokus pada Indonesia,” tutup Gowdey.
Penulis | : | Liana Threestayanti |
Editor | : | Liana Threestayanti |
KOMENTAR