Berbagai tantangan baru muncul saat perusahaan di kawasan ASEAN harus dengan cepat mengimplementasikan teknologi-teknologi baru untuk mendukung kerja jarak jauh.
Implementasi cepat akibat pandemi ini juga telah mengubah kriteria saat perusahaan membeli layanan terkelola (managed service), menurut GlobalData, perusahaan di bidang data dan analytics.
Laporan GlobalData yang berjudul "Major 2021 Shifts in Managed Services Trends as Businesses Pivot to Work from Anywhere" mengungkapkan tiga hal yang mendorong perusahaan enterprise di ASEAN (utamanya di Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand) untuk mempertimbangkan adopsi managed service: kelangkaan skillset, kemudahan migrasi, dan inisiatif organisasi.
Model penggelaran managed service mulai naik daun dalam beberapa tahun terakhir terutama di lingkungan enterprise berskala besar dan menengah. Kompleksitas teknologi yang terus bertambah dan tumbuhnya kebutuhan akan solusi berbasis hasil (outcome based) mendorong enterprise untuk mengalihdayakan (outsourcing) beberapa bagian dari TI-nya dan fokus pada hasil serta inovasi.
"Pandemi COVID-19 tidak hanya mengakselerasi adopsi di ASEAN, termasuk segmen UKM, tapi juga mengubah perilaku pembelian ketika menimbang solusi TIK baru. Skalabilitas, hemat biaya, dan daur hidup (lifecycle) tidak lagi menjadi pendorong utama bagi managed service," ujar Alfie Amir, Principal Analyst, GlobalData.
Rendahnya adopsi TIK perusahaan di ASEAN sebelum pandemi dan penggelaran cepat teknologi baru sejak awal tahun lalu telah melebarkan skillset gap dan meningkatkan kompleksitas pengelolaan di berbagai domain TIK. Kurangnya skillset internal dan adanya desakan agar sistem baru segera beroperasi telah mendorong perusahaan untuk menggeunakan solusi terkelola dari penyedia layanan.
Selain kelangkaan skillset, migrasi sistem yang dulu merupakan tantangan besar ketika perusahaan beralih dari sistem in house ke managed service sekarang justru menjadi pendorong adopsi layanan terkelola. Hal ini ditunjang oleh kapabilitas penyedia layanan yang lebih bagus, juga oleh ekosistem terbuka yang mendorong interoperability antarvendor.
Sementara itu semakin banyak proyek TIK beralih dari implementasi yang bersifat standalone ke deployment yang fokus pada hasil. Walhasil tumbuh kebutuhan akan kapabilitas layanan profesional, seperti konsultasi, bimbingan (advisory), dan manajemen untuk membantu perusahaan meraih hasil bisnis yang diinginkan.
Perubahan perilaku perusahaan terjadi tidak hanya dalam hal faktor-faktor pendorong adopsi managed service. Perusahaan di ASEAN kini juga menerapkan kriteria baru dalam memilih service provider. Beberapa kriteria yang sebelumnya bersifat keharusan, seperti kehadiran penyedia layanan di area yang sama dengan perusahaan dan kapabilitas vertikal, kini tidak lagi menjadi prioritas utama. Kriteria-kriteria baru, seperti portofolio TIK yang luas, reputasi brand, dan fleksibilitas pricing, menjadi lebih kritis daripada kriteria lainnya.
“Adopsi managed service yang lebih luas mengindikasikan adanya langkah positif dalam mendorong transformasi digital di ASEAN. Namun penting bagi para penyedia layanan untuk menyelaraskan kembali nilai manfaat layanan yang ditawarkan (value propositions) dan meningkatkan kapabilitas untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan baru pasar. Meski terjadi perubahan dari sisi enterprise dalam 18 bulan terakhir ini, kebanyakan provider di ASEAN masih fokus pada penjualan yang mengutamakan produk dan transaksi," Amir menyimpulkan. *
Penulis | : | Liana Threestayanti |
Editor | : | Liana Threestayanti |
KOMENTAR