Program Transformasi Digital Nasional 2024 yang dicanangkan pemerintah merupakan harapan bangkitnya ekonomi Indonesia di masa pandemi, dengan harapan rata-rata tumbuh 5% (2022—2026).
Sektor Telekomunikasi dianggap bisa menjadi industri pendorong. Lewat ekonomi digital yang bertumpu pada kemajuan teknologi telematika inilah diharapkan dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan di seluruh wilayah.
Ada 3 pilar yang mendorong terciptanya transformasi digital. Pertama adalah infrastruktur digital yang dapat dicapai dengan membangun konektivitas nasional hingga ke daerah 3T, membangun pusat data nasional, dan penataan frekuensi. Kedua, lewat pemanfaatan digital yang dilakukan oleh pemerintah dan sektor-sektor penting hingga UMKM dan pertanian di pedesaan. Ketiga, melalui penguatan pendukung, seperti keamanan siber, big data, fintech sampai ke mempersiapkan literasi masyarakat dan SDM di bidang TIK.
Kondisi digital ekonomi Indonesia saat ini tengah mengalami kenaikan PDB 5.5% (BPS 2019), tapi tidak diiringi dengan pertumbuhan industri komputer dan elektronik yang turun -0.15%. Hal ini disebabkan sisi konsumsi barang dan jasa import sangat tinggi dibandingkan export. Sedangkan, untuk PDB di sektor Komunkasi dan Informasi mengalami kenaikan rata-rata 10% (BPS 2019).
Sebelum pandemi antara kurun waktu Januari 2019—Januari 2020 saja sudah terjadi peningkatan penggunaan koneksi mobile phone 4.6% dan pemakaian internet 17%. Memasuki era pandemi covid-19 mulai terpetakan industri-industri yang bakal terus bertahan, salah satunya ICT, selain e-commerce, kesehatan, layanan dan peralatan medis, pemrosesan makanan, retail makanan, dan pertanian.
Melihat cukup pentingnya peran industri telekomunikasi untuk mendorong percepatan transformasi digital di Indonesia maka dibutuhkan kesehatan dan keberlangsungan industri ini. Apalagi bandwidth sekarang, sudah menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat, akibatnya telekomunikasi menjadi sebuah kepentingan nasional. Bayangkan jika bandwidth internet mengalami blackout, segalanya akan terganggu. Tidak hanya layanan pemerintahan, kebutuhan masyarakat, hingga hal-hal terkait keadaulatan negara dapat terancam.
Industri telekomunikasi saat ini di Indoesia bahkan di seluruh dunia tidak dalam kondisi baik dikarenakan adanya tren pendorong negative. Menurut Sarwoto Atmostarno, Ketua Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL), CAPEX perusahaan terus meningkat akibat kebutuhan bandwith yang lebih besar.
“Dapat dikatakan sekarang jumlah pelanggan telekomunikasi sudah di titik jenuh tapi bertipe konsumen bandwidth hunger. Sedangkan harga layanan data di Indonesia merupakan yang terendah setelah India. Harga layanan terus turun, otomatis berpengaruh pada pendapatan yang menurun. Sedangkan, biaya investasi tinggi dan teknologinya memiliki durasi tertentu dengan kebutuhan pergantian platform,” jelas mantan Direktur Utama Telkomsel itu dalam diskusi terbatas yang digelar oleh Indonesia Technology Forum (ITF).
Saat ini pergeseran nilai telekomunikasi dimana rantai nilai tidak lagi dikuasai oleh operator, tapi beralih ke device dan aplikasi. Bisa dikatakan era kejayaan operator sudah berakhir dan pertumbuhan perusahaan berbasis teknologi semakin jauh melesat. Sarwoto menambahkan kondisi ini sudah diramalkan sejak 2013 dimana pendapatan konten akan lebih besar dari infrastruktur. Padahal tanpa operator telekomunikasi semua industri teknologi itu tidak berdaya.
Untuk itu industri telekomunikasi membutuhkan langkah-langkah inovasi, salah satunya dengan melakukan konsolidasi bisnis atau merger, seperti yang dilakukan oleh Indosat Ooredoo dan Hutchison Tri Indonesia belum lama ini. Dengan merger terjadi sinergi sehingga bisa melakukan efisiensi dan menekan biaya. Sebab, operator yang tidak bisa mencapai target EBITDA 6—8% pertahun selama 4—6 tahun berturut akan mati dengan sendirinya.
Lewat merger dua perusahaan juga bisa melakukan akuisisi data konsumen dan membangun market share bersama. Seperti yang kita ketahui bahwa jumlah pelanggan Tri sebanyak 44 juta dan Indosat Ooredoo 60 juta, yang jika dijumlahkan akan menempati posisi kedua operator dengan jumlah pelanggan terbanyak.
Namun merger hanyalah pintu masuk untuk menyelamatkan operator dari kondisi pasar saat ini. Untuk keluar dari posisi bertahan hingga mencapai kondisi sehat dan bertumbuh, operator dipaksa untuk mengubah dirinya menjadi perusahaan teknologi. Caranya dengan mengakuisisi perusahaan-perusahaan teknologi rintisan (start up) sembari berinvestasi di infrastruktur.
Penulis | : | Adam Rizal |
Editor | : | Adam Rizal |
KOMENTAR