Pemerintah resmi menaikkan besaran minimal Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk perangkat berbasis 4G dan 5G, dari 30 persen menjadi 35 persen. Aturan baru ini diterbitkan oleh Kementerian Kominfo pada 12 Oktober 2021 lalu.
Menteri Kominfo, Johnny G. Plate mengatakan ketentuan TKDN sebesar 35 persen ini mulai berlaku enam bulan sejak peraturan tersebut diterbitkan atau tepatnya sekitar April 2022 mendatang.
Jadi, perangkat telekomunikasi berbasis 4G dan 5G, misalnya smartphone, wajib mengandung 35 persen komponen lokal agar diizinkan untuk dijual dan diedarkan di Indonesia.
Lantas, bagaimana tanggapan dari vendor smartphone terkait aturan baru ini?
Vivo Indonesia mengatakan bahwa pihaknya senantiasa mengikuti aturan pemerintah terkait aturan baru mengenai kenaikan nilai TKDN untuk perangkat 4G dan 5G.
"Sebagai produsen smartphone 4G dan 5G yang telah menjalankan basis produksi di Indonesia, Vivo berupaya untuk menjalankan aturan pemerintah termasuk dalam pemenuhan TKDN," tutur Edy Kusuma, Senior Brand Director Vivo Indonesia.
Senada dengan Vivo, Samsung dan Xiaomi juga menuturkan hal yang sama. Menurut Samsung, ini merupakan salah satu upaya untuk berkontribusi dalam mendukung kemajuan industri dalam negeri.
"Samsung Electronics Indonesia senantiasa mendukung pemerintah dalam upaya untuk mendorong pertumbuhan pelaku industri elektronik dalam negeri melalui peraturan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN)," ujar Selvia Gofar, Head of Product Marketing Samsung Electronics Indonesia.
"Sebagai perusahaan yang beroperasi di Indonesia, Xiaomi sepenuhnya mengikuti ketentuan yang pemerintah yang berlaku," jelas Stephanie Sicilia, Head of PR Xiaomi Indonesia.
Sementara itu, PR Manager Oppo Indonesia, Aryo Meidianto, menuturkan bahwa Oppo merasa tidak keberatan dengan kenaikan besaran minimal TKDN menjadi 35 persen. Bahkan, hal ini juga tidak mempengaruhi proses manufaktur perangkat itu sendiri.
"Sebenernya tidak ada masalah mau dikejar sampe 35 persen. Pihak pabrik pernah cerita bahwa kita pernah tembus 36 persen bahkan. Jadi nggak ada masalah berarti, apalagi manufaktur sendiri," ungkap Aryo.
Kenaikan nilai TKDN ini kemungkinan akan berpengaruh pada vendor-vendor yang mengandalkan perusahaan perakitan smartphone, misalnya seperti Sat Nusapersada di Batam. Karena, vendor tersebut harus mengikuti kebijakan yang berlaku di Sat Nusa yang memproduksi beberapa brand smartphone.
"Ya karena manufaktur apapun bisa dikejar sih, lebih leluasa kan dijalankan sendiri, kalo yang lain mungkin kan kebijakannya mengikuti manufaktur yang memproduksi, misalkan Satnusa kan banyak produksi merek," imbuh Aryo.
"Nah, kebijakan persentase TKDN ini kan mengikuti Satnusa. Kalo kita (Oppo) tinggal menyesuaikan, mau ambil jalur mana kita yang memutuskan. Kita yang bisa langsung milih apa yang harus ditempuh," lanjut Aryo.
Terkait aspek apa yang lebih mudah dipenuhi untuk mencapai nilai TKDN minimal 35 persen ini, Oppo dan Vivo mengatakan bahwa hal itu akan disesuaikan baik dari segi hardware maupun software.
"Tergantung besar kecilnya skala vendor itu, kalo kita (Oppo) hardware masih bisa dijangkau, software lebih mudah lagi," jelas Aryo.
"Pemenuhan TKDN 35 persen kami upayakan dapat tercapai dengan dukungan komponen lokal baik hardware ataupun software," tutur Edy Kusuma.
Menurut Oppo, peningkatan nilai TKDN ini kemungkinan juga akan mempengaruhi harga jual smartphone, khususnya merek yang cakupan pasarnya kecil.
"Nah, kembali ditanyakan ke brand yang memang pasarnya kecil, karena volume produksi mereka cenderung sedikit, di Oppo gak ada isu ini," jelas Aryo.
Di sisi lain, Samsung Indonesia mengklaim bahwa beberapa produk buatannya telah memenuhi standar TKDN terbaru yaitu sebesar 35 persen.
"Seluruh produk Samsung selalu kami pastikan telah mematuhi peraturan TKDN terbaru (35 pesen), beberapa diantaranya seperti Galaxy Z Series (47 persen), Galaxy A22 (38,3 persen), Galaxy A22 5G (35,7 persen), dan Galaxy M62 (35,5 persen)," pungkas Selvia (Samsung Indonesia).
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Adam Rizal |
Editor | : | Adam Rizal |
KOMENTAR