Penulis: Katherina-Olivia Lacey, Co-Founder dan CPO, Quincus
Pandemi dan moncernya bisnis e-commerce mempopulerkan kembali sistem pengiriman hiperlokal. Namun ada sejumlah tantangan yang menghadang. Bagaimana teknologi dapat menjawab tantangan itu?
Bagi sebagian besar negara di dunia, industri fast moving consumer goods (FMCG) adalah salah satu faktor penggerak perekonomian negara. Esensi produk FMCG yang merupakan bagian dari permintaan dan kebutuhan sehari-hari seluruh masyarakat dunia, termasuk Indonesia, menjadikan produk FMCG sebagai produk yang terus dicari kembali untuk dikonsumsi secara berulang-ulang dalam beberapa waktu ke depan. Meski di tengah pandemi sekalipun, FMCG tidak dapat absen untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Dilihat dari sejumlah perkembangan yang terjadi belakangan ini, sejumlah brand berlomba-lomba mendorong eksistensi demi “terlihat” di mata target pasar mereka. Contohnya, industri makanan dan minuman, yang merupakan bagian dari industri FMCG, mengalami tantangan dalam meningkatkan kinerja di masa pandemi, meski pada Q1 2021 pertumbuhan industri ini mencapai 2,45% (salah satu yang tertinggi di industri pengolahan). Data per Q1 2021 mencatatkan pengeluaran masyarakat Indonesia untuk produk FMCG, sebagai tiga jenis teratas spending, meningkat menjadi 20 persen dibandingkan Q1 2020 (19%).
Di tengah momentum pemulihan ekonomi nasional, BPS mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia di Q2 2021 sebesar 7,07%, menunjukkan resminya negara ini keluar dari resesi ekonomi akibat pandemi. Hal ini menandakan kemampuan daya beli masyarakat semakin meningkat, menciptakan peluang besar bagi bisnis FMCG dalam menjangkau target pasar mereka.
Asosiasi Peritel Indonesia (API) memprediksi sejumlah tren FMCG di Indonesia pada 2021 yakni: (1) belanja produk FMCG melalui toko daring serta supermarket yang sudah membuka layanan daring; (2) fokus pada pembayaran digital; (3) kebiasaan belanja dengan membeli pack size yang lebih besar; dan sejumlah tren lain. Untuk itu, perusahaan FMCG perlu memiliki kesiapan yang baik dengan menggandeng mitra pengiriman yang efektif untuk menjangkau banyak titik di seluruh Indonesia. Dengan kata lain, perusahaan FMCG perlu melakukan optimalisasi pelayanan pengiriman hiperlokal, yaitu- model pemenuhan pengiriman di mana pelanggan dilayani dari jaringan toko yang terdistribusi di dalam area geografis yang kecil.
Keberadaan pandemi dan fenomena booming e-commerce membuat sistem pengiriman hiperlokal kembali populer. Pengiriman hiperlokal cocok untuk mengirim produk yang mudah rusak, seperti makanan, bahan makanan, obat-obatan dan produk lainnya. Perusahaan FMCG dapat memiliki keunggulan kompetitif mereka, dengan sejumlah kecepatan dan kenyamanan yang ditawarkan oleh sistem hiperlokal. Fenomena pengiriman produk makanan sesuai permintaan dan kebutuhan lainnya dalam kerangka waktu yang sangat singkat dengan cepat menjadi penawaran yang menonjol di era kini, sambil mempertimbangkan beberapa faktor.
Mengukur Peluang dan Permintaan Pengiriman Hiperlokal
Penting bagi pelaku FMCG untuk memahami lanskap pengiriman pasar tertentu. Wilayah Asia Tenggara, terutama Indonesia, memiliki situasi perumahan masyarakat dengan infrastruktur bertingkat, kepadatan perkotaan dan faktor lain. Peluang bagi pengiriman hiperlokal produk FMCG pun tumbuh pesat di kawasan geografis yang memiliki fenomena sehari-hari, seperti kemacetan lalu lintas, biaya tenaga kerja dan lain-lain.
Cara dan pola belanja masyarakat di sejumlah pasar juga menjadi faktor penting. Hiperlokal berfokus penuh pada permainan volume: semakin sering orang membeli dan semakin banyak persediaan mereka, maka semakin kecil kemungkinan untuk membeli lebih banyak.
Rute Lebih Cerdas dan Efisien, Pangkas Biaya Pengiriman
Semakin cepat pengiriman hiperlokal, maka biaya semakin mahal. Itulah sebabnya biaya pengiriman last-mile mencakup 41 persen dari total biaya rantai pasokan suatu produk.
Penulis | : | Liana Threestayanti |
Editor | : | Liana Threestayanti |
KOMENTAR