Pemandangan sekelompok anak kecil menyambut kami saat pertama kali bertandang ke Desa Budaya Dokan yang terletak di Kecamatan Merek, Kabupaten Karo, Medan. Suasana semakin hangat karena anak kecil tersebut sedang bermain dengan berlatar sebuah bangunan rumah adat indah yang berdiri megah bernama Rumah Siwaluh Jabu.
Rumah Siwaluh Jabu ini terlihat kokoh dan menjulang tinggi di tengah-tengah bangunan rumah modern yang cukup padat. Selain anak-anak, hanya ada beberapa orang terlihat mondar-mandir di sekitar area Desa Budaya Dokan. Suasana yang sepi itu membuat kami puas mengagumi rumah adat tersebut.
Menjaga Nilai Tradisional
Masuk ke dalamnya, kami disuguhkan dengan gambaran isi Rumah Siwaluh Jabu yang sangat unik. Atapnya menjulang tinggi, memberikan sirkulasi udara yang membuat area dalam rumah adat ini tidak pengap. Di bagian atasnya terdapat area untuk menyimpan kayu yang digunakan untuk memasak.
Tidak seperti di luar yang tampak sepi, di dalam Rumah Siwaluh Jabu aktivitas justru ramai terjadi. Mulai dari yang asyik berbincang, mengunyah sirih, memasak, hingga anak-anak yang sibuk belajar. Sentuhan tradisional dan modern sudah bersatu dengan kental di dalam rumah ini. Kami melihat seorang nenek asyik memasak dengan tungku dan kayu, tetapi di saat bersamaan dua orang anak terlihat sibuk di depan laptop dan mengikuti pelajaran online.
"Jadi, dulunya ada delapan keluarga yang tinggal di dalam satu rumah. Sekarang bisa delapan atau kurang," jelas Ibu Roy, salah satu sosok yang kami temui di Rumah Siwaluh Jabuh. Setiap keluarga mendapatkan satu petak area dengan satu kamar di bagian belakang. Lalu ada empat tungku yang masing-masing digunakan oleh dua keluarga untuk memasak makanan.
Ibu Roy mengaku bukan dirinya yang tinggal di dalam Rumah Siwaluh Jabu, melainkan ibunya, Nenek Iting. Meski memiliki rumah sendiri dengan bangunan yang lebih modern, Nenek Iting lebih memilih untuk tinggal di dalam Rumah Siwaluh Jabuh dengan ditemani salah satu cucu. Alasannya karena suasana di situ lebih ramai sehingga dia tidak merasa sendirian dan sekaligus ingin menjaga nilai tradisional desa tersebut.
Penghasil Kulcapi Buatan Tangan
Setelah berbincang dengan Ibu Roy dan Nenek Iting, kami tertarik melihat ke salah satu sudut Rumah Siwaluh Jabu. Di sana terlihat seorang pria sibuk memahat kayu dengan deretan alat musik unik bertengger di bagian atas biliknya. Ternyata itu adalah alat musik Kulcapi.
Pak Adnan Sitepu, pria pembuat alat musik itu pun berbagi kisahnya melestarikan alat musik tradisional Karo tersebut. Ternyata sudah tiga tahun terakhir beliau aktif membuat Kulcapi yang biasa dijual dengan harga Rp900 ribu. Tingginya harga jual itu dipengaruhi oleh pemilihan kayu serta proses pembuatannya yang memakan waktu cukup lama.
"Proses pengeringan kayunya lama. Ini kan kayunya harus dikeringkan. Bisa sampai 4-5 bulan keringnya," jelas Pak Adnan. Sedangkan proses pembentukannya sendiri memakan waktu dua minggu. Belum lagi beliau membuat alat musik tersebut tanpa alat, dan menambah waktu pengerjaan jadi lebih lama. "Ada alatnya (untuk membuat Kulcapi). Saya tidak pakai karena mahal. Jadi berharap pemerintah bisa bantu," ucapnya jujur.
Beliau sendiri tidak menyalurkan Kulcapi buatannya ke toko-toko, melainkan cukup memperlihatkannya kepada wisatawan yang datang dan menjualnya sebagai salah satu souvenir dari Desa Budaya Dokan. Tak hanya itu, Pak Adnan juga membuat miniatur Rumah Siwaluh Jabu yang bisa jadi pilihan oleh-oleh lainnya.
Penulis | : | Administrator |
Editor | : | Rafki Fachrizal |
KOMENTAR