Bersamaan dengan transformasi digital yang terus digencarkan di berbagai industri, digitalisasi pun turut mewarnai dinamika di industri perbankan.
Fenomena ini ditandai dengan lahirnya Fintech (Financial Technology) hingga Bank Digital, di mana nasabah dan konsumen tidak perlu hadir ke kantor fisik untuk mendapatkan layanan jasa keuangan.
Di tengah perlombaan menjadi bank digital, faktor keamanan dan perlindungan data pribadi perlu menjadi fokus dari industri perbankan sebagai bisnis kepercayaan.
Salah satunya dengan meningkatkan keamanan proses identity proofing, atau proses verifikasi dan validasi data nasabah, dengan menggunakan sertifikat elektronik sesuai dengan aturan perundang-undangan.
Dalam diskusi publik yang diselenggarakan secara daring (18/3), Semuel Abrijani Pangerapan, Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika memaparkan bahwa negara telah mengakui keberadaan dunia digital sebagai ruang interaksi masyarakat melalui UU ITE.
“Aktivitas di ruang digital sama sahnya dengan ruang fisik, namun ruang digital perlu tools untuk memastikan aktivitas itu sah atau tidak, salah satunya dengan tanda tangan elektronik yang regulasinya, UU ITE, sudah ada sejak 2008,” jelas Semuel.
Semuel menggambarkan bahwa kini dokumen negara hingga beberapa Kementerian sudah menggunakan Tanda Tangan Elektronik (TTE), karena berfungsi sama dengan tanda tangan biasa.
“Jadi perbankan tidak perlu lagi ragu, karena TTE sudah diakui oleh undang-undang sama sahnya dengan tanda tangan basah, selama dapat terverifikasi dan tervalidasi. Jadi memang, mau tidak mau kita harus mengadopsi teknologi ini, sebagai bagian untuk akselerasi ekonomi digital, bukan hanya perbankan dan finance, namun sektor-sektor lainnya,” ujar Semuel.
Dalam kesempatan yang sama, Sati Rasuanto, CEO dan Co-Founder VIDA menuturkan “Di ranah digital selama ini terdapat satu tantangan, bagaimana membuktikan transaksi itu sah, misalnya transaksi bank. Kini, Kominfo sudah memfasilitasi hal tersebut sesuai regulasi lewat Penyelenggara Sertifikat Elektronik (PSrE), salah satunya adalah VIDA. Sebagai PSrE, kami dapat melakukan identity proofing dari seorang pengguna, lalu kemudian menerbitkan sertifikat elektronik sesuai standar dan peraturan yang berlaku.”
Sati menjelaskan proses identity proofing dilakukan sebelum melakukan Tanda Tangan Elektronik, sehingga platform mengetahui bahwa penandatangan adalah orang yang tepat.
Langkah pertama yakni pengecekan data demografi pengguna langsung pada sumber data, yakni data kependudukan nasional yang dimiliki Ditjen Dukcapil.
Setelah data demografi itu divalidasi, dilakukan proses validasi data biometrik atau wajah orang tersebut. Hal ini penting, untuk mencegah ketidakcocokan data antara wajah dan data biometrik.
Selain itu, VIDA memiliki teknologi liveness detection untuk melakukan validasi atau verifikasi proses selfie, apakah benar penandatangan langsung hadir dalam proses verifikasi, dan bukan orang lain yang menggunakan foto atau gambar.
Penulis | : | Rafki Fachrizal |
Editor | : | Rafki Fachrizal |
KOMENTAR