Studi global terbaru Cisco mengungkapkan bahwa cara kerja hybrid telah meningkatkan kesejahteraan karyawan, keseimbangan kehidupan dan pekerjaan, serta kinerja karyawan di Indonesia.
Hasil positif dari cara kerja hybrid ini memberikan manfaat bagi organisasi berupa tingkat produktivitas karyawan yang lebih tinggi. Oleh karena itu Cisco menyarankan agar organisasi melakukan lebih banyak lagi untuk membangun budaya inklusif dan sepenuhnya menanamkan pengaturan kerja hybrid untuk meningkatkan tingkat kesiapan dan meningkatkan pengalaman karyawan.
Studi Cisco yang berjudul “Employees are ready for hybrid work, are you?” itu menemukan bahwa lebih dari satu dari dua karyawan (56%) di Indonesia percaya bahwa kualitas kerja telah meningkat.
Sementara, 53% responden merasa bahwa produktivitas mereka meningkat. Lebih dari tiga perempat (77%) juga merasa peran mereka sekarang dapat dilakukan dengan sukses dari jarak jauh seperti di kantor.
Namun, survei terhadap 28.000 karyawan dari 27 negara, termasuk lebih dari 1.050 responden dari Indonesia, juga menemukan fakta bahwa hanya satu dari empat (25%) karyawan Indonesia yang berpikir bahwa perusahaan mereka ‘sangat siap’ untuk masa depan dengan pekerjaan hybrid.
“Dua tahun terakhir telah menunjukkan kepada kita bahwa pekerjaan bukan lagi tempat kita pergi, tetapi apa yang kita lakukan. Dalam situasi pekerjaan hybrid, karyawan dan perusahaan di Indonesia merasakan manfaat nyata dari peningkatan kesejahteraan karyawan hingga produktivitas dan kinerja kerja yang lebih baik,” kata Marina Kacaribu, Managing Director, Cisco Indonesia.
“Namun, menurutnya, pekerjaan hybrid bukan hanya tentang mendukung kerja jarak jauh (remote) atau kembali ke kantor dengan aman. “Para pemimpin perusahaan perlu memikirkan kembali cara menumbuhkan budaya inklusif, menempatkan karyawan – pengalaman, keterlibatan, dan kesejahteraan mereka – di pusat, dan memodernisasi jaringan dan infrastruktur keamanan mereka untuk memberikan pengalaman karyawan yang lancar, aman dan inklusif,” saran Marina.
Cara Kerja Hybrid Tingkatkan Kesejahteraan Karyawan
Berdasarkan hasil penelitian Cisco, diketahui bahwa 6 dari 10 karyawan (63%) mengatakan pekerjaan hybrid dan jarak jauh telah meningkatkan berbagai aspek kesejahteraan mereka. Penelitian ini melihat dampak pekerjaan hybrid pada lima kategori kesejahteraan: kesejahteraan emosional, keuangan, mental, fisik, dan sosial.
Temuan lainnya menyebutkan bahwa waktu di luar kantor telah meningkatkan keseimbangan kehidupan kerja bagi 75% karyawan di Indonesia. Peningkatan ini karena jadwal kerja yang lebih fleksibel (70%) dan waktu perjalanan yang berkurang atau hilang secara signifikan (55%).
Hampir tiga perempat responden (74%) menghemat setidaknya empat jam per minggu ketika mereka bekerja dari rumah, dan lebih dari seperempat (34%) responden menghemat delapan jam atau lebih dalam seminggu.
Sementara itu, hampir 9 dari 10 (87%) responden Indonesia juga mengatakan bahwa kesejahteraan finansial mereka meningkat, dengan rata-rata tabungan mereka mencapai lebih dari USD5.824 (IDR85 juta) per tahun.
Ada beberpa alasan teratas untuk peningkatan finansial ini, di antaranya penghematan bahan bakar dan/atau perjalanan pulang-pergi yang cukup besar (93%), penurunan pengeluaran untuk makanan dan hiburan (79%).
Selain itu, 7 dari 10 (79%) responden percaya kebugaran fisik mereka meningkat dengan kerja secara remote. 81% responden pun mengatakan pekerjaan hybrid berdampak positif pada kebiasaan makan mereka.
Sebagian besar (92%) menunjukkan bahwa kerja secara remote telah meningkatkan hubungan keluarga dan setengah (47%) responden melaporkan hubungan yang lebih erat dengan teman-teman.
Kepercayaan & Transparansi, Kunci Sukses Cara Kerja Hybrid
Masa depan pekerjaan adalah hybrid, menurut 84% karyawan di Indonesia yang mengatakan mereka menginginkan kombinasi model kerja remote dan in-office hybrid di masa depan. Sementara yang menginginkan full remote (14%) dan full-office (3%).
Namun, tantangannya adalah ketidakpastian tentang bagaimana gaya kerja yang berbeda dapat memengaruhi inklusi dan keterlibatan. Lebih dari setengah (63%) responden Indonesia percaya bahwa perilaku micromanaging telah meningkat dengan kerja secara hybrid dan remote. Kurangnya kepercayaan dari manajer bahwa karyawan mereka dapat menjadi produktif telah menjadi tantangan umum dalam pengalaman kerja mereka.
“Kepercayaan telah menjadi prinsip inti dalam pekerjaan hybrid kami yang normal, di samping fleksibilitas, dan kepemimpinan yang empatik. Penelitian terbaru kami menunjukkan bahwa lebih banyak yang harus dilakukan untuk sepenuhnya mengintegrasikan pengaturan kerja secara hybrid bagi karyawan, terutama dalam hal membangun budaya inklusif yang didukung oleh infrastruktur teknologi yang efisien di dunia kerja baru yang jelas disukai karyawan ini. Para pemimipin dan perusahaan perlu berkomitmen pada tindakan yang sangat membantu untuk mempertahankan orang-orang mereka – mendengarkan, membangun kepercayaan, dan memimpin dengan empati, fleksibilitas, dan keadilan,” kata Anupam Trehan, Senior Director, People & Communities, Cisco, APJC.
Teknologi, Tulang Punggung Kerja Hybrid
Pada saat yang sama, menurut Cisco, teknologi akan tetap berperan penting untuk memungkinkan masa depan dengan tenaga kerja yang semakin beragam dan terdistribusi. Dua pertiga (67%) responden percaya bahwa memiliki masalah konektivitas secara teratur membatasi karier bagi pekerja jarak jauh.
Akibatnya, 93% mengatakan infrastruktur jaringan sangat penting untuk pengalaman bekerja dari rumah yang mulus, tetapi sekitar 28% mengatakan perusahaan mereka masih membutuhkan infrastruktur jaringan yang tepat.
Hampir 9 dari 10 (86%) responden di Indonesia percaya bahwa keamanan siber sangat penting untuk membuat pekerjaan hybrid bekerja secara aman, namun 69% mengatakan organisasi mereka saat ini memiliki kemampuan dan protokol yang tepat.
Hanya 66% berpikir bahwa semua karyawan di seluruh perusahaan mereka memahami risiko dunia maya yang terkait dengan pekerjaan hybrid, dan 73% berpikir para pemimpin bisnis mengetahui risikonya.
“Teknologi adalah pendorong utama pertumbuhan di tempat kerja hybrid, dan itu perlu didukung oleh keamanan terintegrasi dari ujung ke ujung. Organisasi harus memprioritaskan postur keamanan yang kuat yang menopang setiap upaya digitalisasi dan memastikan bahwa keamanan siber adalah inti dari arsitektur teknologi mereka. Di tengah area permukaan serangan yang diperluas saat ini karena semakin banyak pengguna dan perangkat terhubung ke aplikasi perusahaan, organisasi perlu meningkatkan keamanan dan membangun kewaspadaan yang lebih besar, dengan memungkinkan akses yang aman dan melindungi pengguna dan titik akhir di jaringan dan cloud.” ujar Juan Huat Koo, Direktur, Keamanan Siber, Cisco ASEAN.
Penulis | : | Liana Threestayanti |
Editor | : | Liana Threestayanti |
KOMENTAR