Dua perusahaan startup di Indonesia yakni Zenius dan LinkAja memutuskan untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap ratusan karyawan mereka.
Zenius melakukan PHK karyawan lantaran perusahaan tersebut tengah mengalami kondisi makro ekonomi terburuk dalam beberapa dekade terakhir.
Sementara LinkAja memutus hubungan kerja para karyawan dengan alasan reorganisasi Sumber Daya Manusia (SDM). Kendati demikian, Zenius dan LinkAja bukan merupakan dua perusahaan startup Indonesia yang melakukan PHK karyawan.
Sebelumnya, startup seperi TaniHub, OYO, Traveloka hingga Gojek juga pernah melakukan hal serupa.
Lantas mengapa startup kerap mengalami fase melakukan PHK karyawan besar-besaran? Penjelasan ahli Pakar Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Eddy Junarsin mengatakan, bisnis startup merupakan binis yang saat ini digandrungi oleh Generasi Z. Bisnis startup semakin menjamur di Indonesia lantaran dukungan kemajuan teknologi yang pesat. Kendati demikian, bisnis ini memang memiliki risiko yang tinggi.
"Iya memang risiko bisnis semakin volatile di zaman digital ini," ujarnya, saat dihubungi Kompas.com, Kamis (26/5/2022).
Selain itu, Eddy mengatakan bahwa perkembangan bisnis startup ini berpotensi kolaps ketika pemintaan pasar menurun dan tren berubah. "Jadi sebenarnya orang-orang yang bekerja di dunia startup itu memang harus siap untuk pindah kapan pun sebetulnya karena risikonya tinggi," kata dia.
Faktor penyebab PHK karyawan
Terpisah, Direktur Celios Bhima Yudhistira mengatakan bahwa penyebab perusahaan startup melakukan PHK terhadap ratusan karyawannya didasari oleh beberapa faktor.
1. Kondisi pandemi
Tidak bisa dipungkiri bahwa wabah pandemi Covid-19 sangat berdampak bagi industri startup. Bahkan, sejumlah startup mengalami kesulitan pendanaan akibat pandemi ini.
"Penyebab PHK beberapa startup karena alami kesulitan pendanaan setelah rencana bisnis terpengaruh oleh pandemi dan penurunan user secara signifikan," ujar Bhima kepada Kompas.com, Kamis (26/5/2022).
Kendati pengguna internet mengalami lonjakan selama pandemi, namun hal tersebut tidak berdampak bagi sebagian startup.
2. Kenaikan suku bunga
Selain terkait pandemi, Bhima menjelaskan, kenaikan tingkat suku bunga di berbagai negara juga menjadi faktor sebuah perusahaan startup memutus hubungan kerja ratusan karyawannya.
"Secara makro kenaikan tingkat suku bunga di berbagai negara membuat investor mencari aset yang lebih aman," terangnya.
"Imbasnya saham startup teknologi dianggap high risk," imbuh Bhima.
Bahkan, mayoritas pengamat memperkirakan bahwa 2022 merupakan winter-nya startup. Artinya, perusahaan startup akan merasakan tekanan sell-off besar-besaran di industri digital.
"Apakah ini hanya temporer? Yang jelas banyak startup kesulitan mendapatkan pendanaan baru dan investor makin selektif dalam memilih startup," kata Bhima.
Peristiwa ini mengulang tech bubble pada 2001. Ujungnya, hanya akan tersisa pemenang yang memang bisnis modelnya mampu teruji. "Dulu kan ada Amazon, E-bay yang lolos ujian dotcom bubble, mungkin sekarang waktunya startup di Indonesia diuji oleh pasar," ujarnya.
3. Winner takes all
Faktor berikutnya adalah winner takes all yang merupakan peta persaingan startup. "Kalau e-commerce ada top 3 pemain, maka jangan harap pemain kecil bisa bersaing. Begitu juga terjadi di edutech, banyak yang tidak bersaing karena kurang pendanaan akhirnya tersisih dari pasar," terang Bhima.
Sebenarnya, faktor promosi produk dan bakar uang efektif mengurangi jumlah persaingan secara signifikan. Namun, jika cashflow cukup tidak kuat, startup akan kalah dan digantikan oleh perusahaan lain yang gencar promosi.
"E-commerce itu sudah saturated, begitu juga dengan bisnis payment atau dompet digital, edutech saya lihat sudah mulai jenuh," ungkapnya.
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Rizal |
Editor | : | Rizal |
KOMENTAR