Meski dunia mulai memasuki fase pemulihan dari krisis, rantai pasokan (supply chain) global masih mengalami disrupsi. Bagaimana solusi smart warehouse dapat menjawab tantangan ini?
Data Global Supply Chain Pressure Index yang dikeluarkan oleh The United States Federal Reserve Bank mencatat bahwa tekanan pada rantai pasokan global terparah sepanjang sejarah terjadi pada Desember 2021.
Namun di fase pemulihan pasca krisis ini pun disrupsi pada rantai pasokan global masih terjadi. Fase pemulihan pun masih berdampak pada volatilitas rantai pasokan. Walhasil, kondisi dua tahun terakhir ini masih menjadi tantangan bagi perusahaan-perusahaan logistik yang performa bisnisnya bergantung pada performa rantai pasokan global.
Terlepas dari disrupsi yang ada, mereka yang terlibat dalam bisnis pergudangan, misalnya, harus mengatasi tidak hanya pasokan yang tidak pasti tetapi juga permintaan yang meningkat, terutama di sektor e-commerce.
Pasar belanja online tumbuh dengan pesat. Penjualan e-commerce di Asia-Pasifik diperkirakan akan berlipat ganda dari tahun 2021 hingga 2025, mencapai US$2 triliun, menurut perusahaan riset Euromonitor International.
Teknologi apa saja yang dilirik para pelaku logistik dalam menjawab tantangan disrupsi saat ini?
Kebutuhan Otomatisasi
Menjawab tantangan ini, menurut Edward Chow, Vice President Asia Pacific Sales & Services, Stratus Technologies, banyak operator logistik dan pergudangan di Asia-Pasifik yang melihat proses otomasi sebagai solusi untuk meningkatkan efisiensi dan keandalan dalam operasional.
“Autonomous guided vehicles (AGVs) saat ini menjadi pemandangan umum di gudang besar dan pusat pengiriman, di mana mereka dapat digunakan untuk membawa barang dari satu bagian fasilitas ke bagian lain, tanpa campur tangan manusia,” ujar Edward.
Menurut Edward, teknologi ini tidak hanya menurunkan kemungkinan human errors, tapi juga meningkatkan keselamatan kerja dengan membantu operator dalam mengangkat barang-barang berat.
Selain AGVs, Autonomous Mobile Robots (AMR), juga semakin dikenal oleh para pebisnis. AMR memanfaatkan sensor untuk memahami sekitar mereka dan algoritme perangkat lunak untuk melihat pergerakan di sekitar fasilitas. Mesin ini dapat meningkatkan efisiensi karena dapat mengambil dan menyortir barang-barang di rak.
Edward menjelaskan, ada beragam mesin pintar yang dapat membuat pekerjaan para operator di gudang lebih efisien dan mengurangi kebutuhan akan forklift besar. Misalnya, grappler atau capit dan troli otomatis yang masing-masing mampu menahan beban hingga 500kg dan 200kg.
Perlunya Digitalisasi
Di pusat-pusat logistik maupun gudang, mesin-mesin otonom ini harus dapat bekerja selama 24 jam dalam seminggu. Jika mesin-mesin ini rusak atau terjadi error, maka akan berdampak pada tertundanya pengiriman dan berdampak pada disrupsi rantai pasar.
“Kebutuhan akan automasi industri dan sistem kontrol yang dapat melakukan pekerjaan kritis dengan ‘downtime’ yang rendah semakin dibutuhkan perusahaan-perusahaan logistik dalam situasi yang semakin kompetitif ini. Bayangkan sebuah server Industrial Control System (ICS) yang mampu mengelola robot-robot otonom ataupun server di ujung jaringan, mengambil dan menganalisis data dari sensor Industrial Internet of Things (IIoT) di lantai gudang,” jelas Edward.
Ia juga mengatakan bahwa sistem manajemen armada seringkali diperlukan untuk memastikan robot bergerak secara optimal dan aman di dalam gudang. Pada saat yang sama, robot yang tepat harus ditugaskan pekerjaan yang tepat. Sistem seperti itu tidak bisa gagal. Jika tidak, perusahaan logistik tidak akan memenuhi komitmen pengiriman mereka kepada pelanggan,” Edward menambahkan.
Selain memiliki fault tolerance dan availability yang tinggi, sistem-sistem ini juga harus cukup kokoh untuk lokasi industri tempat mereka ditempatkan. Mereka harus mudah diatur dan dioperasikan dari waktu ke waktu tanpa banyak keahlian TI yang mahal.
“Dengan krisis tenaga kerja yang dialami oleh berbagai industri saat ini, perusahaan tentu menghindari belanja peralatan yang membutuhkan tenaga kerja baru dan membutuhkan biaya besar untuk maintenance. Hal ini juga berlaku dengan bagaimana sistem tersebut terintegrasi dengan perangkat lunak kontrol yang telah mereka miliki,” ujar Edward.
Smart Warehouse Sebagai Jawabannya
Edward melihat pergeseran menuju automasi dengan adanya AGVs dan AMRs di Gudang akan membutuhkan sistem kontrol industri yang kuat untuk mengimbangi operasi 24/7 yang selalu aktif di fasilitas ini. Menurutnya, dengan memanasnya persaingan di kawasan ini, perusahaan logistik perlu mengatasi tantangan keandalan sistem mereka.
“Perusahaan logistik harus mencegah kesalahan umum, dari kerusakan memori hingga kesalahan perangkat lunak, daripada mencoba memulihkan dari downtime yang dihasilkan, yang akan sangat mahal. Sistem ini harus mudah digunakan, terlindung dari ancaman dunia maya atau downtime, dan cukup otonom untuk selalu bekerja tanpa pemantauan, pemeliharaan, perbaikan, atau dukungan yang konstan. Dengan kata lain, sistem cerdas yang mengendalikan bagian yang semakin otomatis dari rantai pasokan logistik dan gudang harus siap untuk masa depan digital atau mungkin menambah situasi yang sudah mengganggu saat ini,” tutup Edward.
Penulis | : | Liana Threestayanti |
Editor | : | Liana Threestayanti |
KOMENTAR