Penulis: Marjet Andriesse, Senior Vice President dan General Manager, Red Hat APAC
[Redaksi] Meski sedikit demi sedikit pulih dari kondisi pandemi, perusahaan masih akan menghadapi terpaan angin yang datang dari berbagai arah. Bagaimana perusahaan dapat membangun resiliensi atau ketangguhan di tengah situasi ini?
Lepas dari pandemi, sejumlah masalah, seperti inflasi, ketegangan geopolitik, dan disrupsi rantai pasokan menghalangi pemulihan ekonomi. Di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa perekonomian Indonesia pada kuartal ketiga 2022 mengalami pertumbuhan sebesar 5,72% year on year. Meski begitu, perekonomian tahun depan diprediksi akan cukup menantang, khususnya timbulnya kendala dari sisi supply akibat dampak pandemi, perang, dan situasi geopolitik, sementara permintaan meningkat, sehingga menyebabkan kompleksitas.
Enterprise saat ini sedang mencari keseimbangan. Mereka harus membuat rencana dan melakukan pengeluaran dengan bijaksana dalam jangka pendek untuk memastikan profitabilitas, sekaligus mengambil pertaruhan besar yang akan terbayar dalam jangka panjang saat kita keluar dari bear market, atau kondisi di mana pasar saham sedang mengalami penurunan.Dampaknya, organisasi tidak hanya perlu membuat perencanaan untuk 2023, tapi sampai 2030!
Satu pertanyaan penting yang harus ditanyakan bisnis kepada diri mereka sendiri: What’s next? Apa selanjutnya?
Apa kebutuhan pelanggan selanjutnya? Apa inovasi produk selanjutnya? Apa selanjutnya untuk bisnis secara keseluruhan?
Mengeksplorasi hal yang tidak diketahui seperti itu adalah tugas berat. Namun perusahaan yang bisa melaluinya secara efektif akan siap keluar dari pandemi dengan lebih kuat dan lebih tangguh (resilience).
Teknologi Sebagai Penyeimbang
Dalam jangka pendek, teknologi memainkan peran sebagai enabler yang menjaga bisnis tetap beroperasi selama masa krisis dengan memungkinkan sistem kerja jarak jauh, bisnis yang agile, dan interaksi digital secara eksternal. Dalam jangka panjang, organisasi harus memanfaatkan teknologi untuk mendukung setiap proses, inisiatif atau rantai nilai, dalam perjalanan mereka menjadi Future Enterprise.
Enterprise yang cerdas saat ini akan memprioritaskan kembali investasi untuk interaksi pelanggan yang mengutamakan digital (digital-first), otomatisasi dan augmentasi proses, data dan analitik, serta agile DevOps yang mendorong inovasi dalam bisnis dan model operasional baru.
Ketika kita bergerak maju, digital akan menjadi penyeimbang yang akan mempercepat jalan organisasi menuju pemulihan dan memimpin Future Enterprise yang platform-enabled, berpusat pada ekosistem, dan digerakkan oleh inovasi.
Membangun Bisnis yang Tangguh
Kecepatan perubahan di Asia Pasifik boleh dibilang menakutkan sekaligus menggembirakan. Dalam beberapa tahun terakhir, disrupsi digital telah membuat hampir semua industri untuk menegakkan diri dan mengevaluasi kembali strategnya.
Organisasi yang sudah memasuki perjalanan transformasi digital berhasil mengatasi tantangan yang berkembang melalui efisiensi yang lebih besar dan produktivitas yang lebih baik. Selain itu, organisasi dengan fondasi digital yang andal juga dapat meminimalisas disrupsi yang dipicu oleh pandemi.
Open source sangat penting untuk membangun fondasi digital yang akan membantu organisasi meminimalisasi disrupsi tersebut dengan resiliensi yang lebih baik dan pengalaman pelanggan di masa yang akan datang.
Sebagai contoh, PT Bank Central Asia TBK (BCA) di Indonesia. Sebagai bank swasta terbesar, BCA menyediakan layanan keuangan di lebih dari 1.000 kantor cabang di seluruh Indonesia. Untuk bersaing dengan lebih baik di market layanan keuangan yang berubah dengan cepat, BCA perlu meningkatkan agilitas dan inovasi. BCA menggunakan teknologi container dan platform dari Red Hat yang memungkinkan unit bisnis di bank itu mendesain, mengembangkan, dan menerapkan aplikasi dengan lebih efisien, dan menyediakan layanan bernilai tinggi kepada para nasabahnya.
Infrastruktur Digital Tangguh untuk Fondasi Inovasi
Future Enterprise membutuhkan infrastruktur digital modern yang fleksibel, agile, dan memiliki skala tanpa batas, dalam rangka menyediakan produk digital, layanan, dan pengalaman yang mendalam.
Menurut IDC ICT Predictions[1], semakin banyak enterprise di Asia bergerak menjadi perusahaan yang memprioritaskan digital. Hingga tahun 2023, satu dari tiga perusahaan akan menghasilkan lebih dari 30% pendapatan mereka dari produk dan layanan digital, dibandingkan dengan 1 dari 5 pada tahun 2020.
Untuk mencapai ini, adalah sangat penting bahwa Manusia, Proses, dan Teknologi harus selaras. Open source bisa membuka jalan sebagai pendorong inovasi karena ia menyatukan manusia dengan berbagai pengalaman untuk bekerja bersama menjawab tantangan yang umum dihadapi dan memercikkan ide-ide baru.
Sebagai contoh, BPJS Kesehatan yang memenangkan Red Hat APAC Innovation Award 2022. BPJS Kesehatan mengadopsi pendekatan cloud native menggunakan Red Hat® OpenShift® Container Platform dan Red Hat® Enterprise Linux® untuk mengakselerasi time-to-market dengan fitur-fitur baru yang diluncurkan pada aplikasi mobile perusahaan itu.
Dengan menerapkan layanan antrean online (e-queue) pada mobile app dan kiosk di rumah sakit, pasien merasa lebih nyaman karena tidak perlu menunggu lama untuk bertemu dokter. Solusi Red Hat juga memungkinkan BPJS Kesehatan mempercepat peluncuran fitur-fitur baru di mobile app ke market, sehingga mengurangi waktu pengembangan dan penerapan.
Saat dunia tengah berpegang kuat pada ekonomi digital, prospek ekonomi dan bisnis dalam beberapa tahun ke depan tetap sangat cair, karena tumbuhnya berbagai tantangan global dan ekonomi makro. Kesuksesan perusahaan dalam 12-36 bulan mendatang akan ditentukan oleh cara mereka melewati terpaan angin dari kiri dan kanan.
Inilah saatnya untuk bertanya: apa selanjutnya?
[1] Sumber: IDC FutureScape: Worldwide Top ICT Predictions – Asia/Pacific (Excluding Japan) Implications, November 2021
Penulis | : | Liana Threestayanti |
Editor | : | Liana Threestayanti |
KOMENTAR