Check Point Software Technologies melalui blognya baru saja menyebutkan bahwa jumlah cyber attack di dunia pada tahun 2022 lalu adalah meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Hal tersebut didasarkan atas data yang dirilis oleh CPR (Check Point Research). Menurut data dari CPR, Check Point mengatakan cyber attack alias serangan siber meningkat di seluruh dunia. Pada tahun 2022, jumlah cyber attack rata-rata per minggunya pada jaringan organisasi di dunia meningkat signifikan dibandingkan tahun 2021. Hal ini pun tentunya menunjukkan bahwa cyber security alias keamanan siber kini kian penting, seperti yang InfoKomputer sampaikan di sini.
Berdasarkan data CPR bersangkutan, Check Point menyampaikan pula bahwa meningkatnya jumlah cyber attack itu antara lain karena banyaknya yang berfokus untuk mengeksploitasi perkakas-perkakas kolaborasi yang marak digunakan saat beraktivitas secara daring. Aktivitas secara daring marak dilakukan berkat pandemi COVID-19. Meski belakangan bisa dibilang mereda, beraktivitas secara daring masih lazim dilakukan. Banyak pihak yang menilai beraktivitas secara daring akan terus menjadi pilihan, walau tidak sepenuhnya lagi alias menjadi hibrida.
Secara spesifik, menurut data dari CPR, Check Point menyebutkan jumlah cyber attack rata-rata per minggunya pada jaringan organisasi di dunia meningkat sebanyak 38% pada tahun 2022 dibandingkan tahun 2021. Di kawasan Asia Pasifik, berdasarkan data yang dimaksud, Check Point mengatakan terdapat peningkatan sebesar 22% pada tahun 2022 dibandingkan tahun 2021. Kawasan Asia Pasifik adalah yang mengalami peningkatan terendah kedua.
Adapun peningkatan tertinggi datang dari kawasan Amerika Utara. Jumlah cyber attack rata-rata per minggunya pada jaringan organisasi di kawasan tersebut pada tahun 2022 meningkat sejumlah 52% dibandingkan tahun sebelumnya. Data CPR itu sendiri dibagi ke dalam lima kawasan, yakni Afrika, Asia Pasifik, Amerika Latin, Eropa, dan Amerika Utara.
Namun, secara jumlah cyber attack-nya alias volume cyber attack-nya — bukan peningkatannya, kawasan Asia Pasifik adalah yang tertinggi kedua. Menurut data CPR, secara rata-rata ada 1.691 cyber attack setiap minggunya per organisasi di Asia Pasifik pada tahun 2022. Sementara, kawasan dengan jumlah cyber attack tertinggi adalah Afrika. Di sana, pada tahun 2022, secara rata-rata terdapat 1.875 cyber attack setiap minggunya per organisasi. Afrika sendiri merupakan kawasan dengan peningkatan terendah.
Menilik data CPR yang ditampilkan Check Point; kawasan dengan volume cyber attack yang lebih sedikit pada tahun 2021, memiliki persentase peningkatan jumlah cyber attack yang lebih besar pada tahun 2022. Begitu pula dengan kawasan Amerika Utara dengan volume cyber attack terendah pada tahun 2021 yang mengalami persentase peningkatan jumlah cyber attack tertinggi pada tahun 2022.
Seperti telah disebutkan, salah satu yang mendorong peningkatan jumlah cyber attack adalah karena banyaknya eksploitasi perkakas-perkakas kolaborasi yang marak digunakan saat beraktivitas secara daring. Check Point menambahkan bahwa berbagai cyber attack tersebut banyak dilakukan para hacker dan geng ransomware yang lebih kecil dan lebih lincah.
Evolusi para hacker dan geng ransomware menjadi lebih kecil dan lebih lincah adalah untuk menghindari penegak hukum. Sementara, perkakas-perkakas kolaborasi yang dincar juga mencakup yang untuk bisnis seperti Slack, Teams, OneDrive, dan Google Drive. Pasalnya, perkakas-perkakas itu mengandung banyak data penting. Menariknya, phishing tetap menjadi metode yang banyak digunakan.
Selain itu, Check Point juga membagikan sejumlah temuan lain dari data CPR. Salah satunya adalah pendidikan/riset menjadi sektor industri yang paling banyak mengalami cyber attack di dunia pada tahun 2022. Terdapat peningkatan jumlah cyber attack terhadap sektor pendidikan/riset sebesar 43% pada tahun 2022 dibandingkan tahun 2021. Secara rata-rata. terdapat 2.314 cyber attack setiap minggunya per organisasi pendidikan/riset pada tahun 2022.
Check Point pun menambahkan bahwa banyak lembaga pendidikan yang tidak siap dalam hal cyber security ketika mereka terpaksa beralih ke pembelajaran daring. Apalagi banyak siswa maupun mahasiswa yang belajar menggunakan perangkat mereka sendiri memanfaatkan Wi-Fi publik tanpa memedulikan cyber security.
KOMENTAR