Jumlah ini lebih rendah dibandingkan dengan angka secara global yaitu 53% organisasi. Salah satu sebabnya adalah banyak tim keamanan siber dengan jumlah staf terbatas, terbebani dan tegang saat mereka mencoba untuk memantau ribuan peringatan ancaman setiap hari dan mencoba mengelola solusi yang berbeda untuk melindungi perangkat dan data organisasi mereka dengan benar.
Selain itu, sebagai akibat dari tidak terisinya jabatan di bidang TI karena kekurangan keterampilan siber, laporan tersebut juga menemukan bahwa 82% organisasi di Indonesia mengindikasikan bahwa mereka menghadapi risiko siber tambahan. Temuan lain yang menyoroti peningkatan risiko siber yang sebagian dapat dikaitkan dengan kurangnya jumlah ahli adalah:
· Gangguan keamanan meningkat: Salah satu risiko siber yang dihasilkan adalah peningkatan penerobosan, dengan 94% organisasi lokal mengalami satu atau lebih gangguan keamanan siber dalam 12 bulan terakhir, naik dari 72% organisasi di tahun lalu.
· Makin banyak organisasi yang terkena dampak finansial akibat penerobosan: Lebih dari 66% organisasi lokal mengalami penerobosan dalam 12 bulan terakhir yang menghabiskan biaya lebih dari US$1 juta untuk memulihkannya. Secara global, ada hampir 50% mengalami serangan semacam itu, meningkat dari 38 % organisasi dibandingkan dengan laporan tahun lalu.
· Serangan siber akan terus meningkat: Pada saat yang sama, 66% organisasi lokal memperkirakan jumlah serangan siber akan meningkat selama 12 bulan ke depan, yang semakin menambah kebutuhan untuk mengisi posisi krusial di bidang siber untuk membantu memperkuat postur keamanan organisasi. Perkiraan organisasi di Indonesia tentang serangan siber tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan organisasi secara global (65%).
· Kesenjangan keterampilan menjadi perhatian utama dewan direksi: Laporan tersebut menunjukkan bahwa semua dewan direksi di Indonesia menanyakan bagaimana organisasi dapat melindungi diri dari serangan siber. Pada saat yang sama, 87% dewan direksi di perusahaan Indonesia mendorong kebijakan mempekerjakan lebih banyak staf keamanan TI, dengan penekanan pada kebutuhan ahli keamanan siber.
· Jabatan yang paling sulit diisi dalam keamanan siber: Jabatan dalam bidang operasi keamanan (56%), keamanan cloud (48%), diikuti oleh keamanan pengembangan perangkat lunak (40%) adalah yang paling sulit diisi di Indonesia.
Meningkatkan Keterampilan Profesional Keamanan
Laporan tersebut juga menyarankan agar perusahaan pemberi kerja menyadari bagaimana pelatihan dan sertifikasi dapat bermanfaat bagi organisasi mereka dalam mengatasi kesenjangan keterampilan, yang juga menguntungkan siapa pun yang ingin lebih maju dalam profesi keamanan siber mereka saat ini, serta bagi individu yang mempertimbangkan untuk beralih ke bidang ini. Di bawah ini adalah tambahan sorotan tambahan dari laporan seputar pelatihan:
· Sertifikasi dicari oleh pemberi kerja: Selain soal pengalaman, pemberi kerja memandang sertifikasi dan pelatihan sebagai validasi yang dapat diandalkan atas keahlian individu dengan 96% pemimpin bisnis lokal lebih memilih untuk mempekerjakan individu dengan sertifikasi yang berfokus pada teknologi . Selain itu, 88% responden Indonesia bersedia membayar karyawannya untuk mendapatkan sertifikasi keamanan siber.
· Sertifikasi menguntungkan organisasi dan individu. Hampir semua responden laporan dari Indonesia (90%) mengindikasikan organisasi mereka akan mendapat manfaat dari sertifikasi keamanan siber sementara secara global 95% pemimpin bisnis telah merasakan hasil positif baik dari tim mereka atau diri mereka sendiri yang disertifikasi.
· Tidak cukup banyak profesional yang bersertifikat: Meskipun sertifikasi sangat dihargai, 78% responden Indonesia mengatakan sulit menemukan orang yang memiliki sertifikasi.
Penulis | : | Adam Rizal |
Editor | : | Adam Rizal |
KOMENTAR