Tim peneliti China mengembangkan sebuah model prakiraan cuaca global yang akurat karena mengadopsi teknologi artificial intelligence (AI) yang memiliki jaringan neural tiga dimensi (3D). Saat ini sistem prakiraan cuaca yang paling akurat adalah metode prediksi cuaca numerik (numerical weather prediction/NWP),
Sistem NWP yang menggunakan komputasi performa tinggi itu mampu memprediksi prakiraan cuaca harian, peringatan bencana ekstrem, dan prediksi perubahan iklim. Metode NWP konvensional membutuhkan waktu empat hingga lima jam kalkulasi di klaster superkomputer dengan 3.000 server untuk meramalkan cuaca global 10 hari ke depan
Tim penelitian dan pengembangan (litbang) Huawei Cloud memiliki model meteorologi Pangu-Weather yang menggunakan jaringan neural tiga dimensi yang disesuaikan dengan sistem koordinat Bumi untuk memproses data meteorologi tiga dimensi yang kompleks dan heterogen.
Pangu Weather dilatih menggunakan data global dan memperoleh parameter-parameter berlevel 100 juta dalam waktu dua bulan. Pangu-Weather hanya membutuhkan waktu 1,4 detik untuk menyelesaikan prakiraan cuaca global 24 jam, termasuk kelembapan potensial, kecepatan angin, suhu dan tekanan permukaan laut, serta nilai-nilai lainnya. Kecepatan prediksinya 10.000 kali lebih cepat daripada metode numerik tradisional.
Pangu-Weather berkinerja sangat baik dengan memprediksi jalur balik lima hari sebelumnya.
"Kami percaya bahwa metode berbasis AI harus berdampingan dengan metode numerik konvensional untuk menyediakan layanan prakiraan cuaca yang lebih akurat dan andal," Bei Kaifang (Salah seorang peneliti proyek) seperti dilansir Xinhua.
Kuasai AI
Saat ini China menjelma menjadi salah satu negara dengan perekonomian terbesar di dunia menyaingi Amerika Serikat (AS) dan menjadi pusat perdagangan di dunia. Banyak negara yang bergantung impornya dengan China, mengingat China telah melakukan ekspansi bisnis dengan baik di Afrika dan Asia.
Tak hanya dengan ekonomi, China juga akan menguasai dunia dengan kecanggihan teknologi artificial intelligence (AI) nya yang ternyata pengembangan inovasinya jauh lebih unggul daripada AS.
Miliarder sekaligus Co-Founder Venture Capital (VC) Andreessen Horowitz, Marc Andreessen mengatakan China akan menguasai dunia dengan teknologi AI karena pengembangan AI di China sangat masif dan canggih. Sedangkan, AS tidak terlalu serius melihat peran AI di masa depan.
"Teknologi AI bisa membawa perubahan positif bagi kehidupan manusia di berbagai aspek. Tapi, pengembangan AI di China sangat cepat dan mengalahkan AS. Bisa saja, China memimpin pengembangan AI dan menaklukkan dunia," katanya seperti dikutip dari BusinessNews.
"Partai Komunis China memiliki pendekatan yang sangat spesifik tentang penerapan AI. Mereka bahkan mengumbarnya secara publik. China akan menyerahkan teknologi AI ke negara-negara otoriter lain untuk menjalankan sistem diktator berbasis AI," ujarnya.
Andreessen mengimbau agar pemerintah AS tak lalai dalam mempertahankan dominasinya atas teknologi AI. Hal ini, menurut dia, demi kelangsungan demokrasi.
Kontrol Ketat
Pemerintah China melalui The Cyberspace Administration of China (CAC) akan membuat sistem yang memaksa perusahaan-perusahaan untuk mendapatkan izin terlebih dahulu sebelum mereka mengembangkan dan meluncurkan sistem ArtificiaI Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan generatif. China ingin
menyeimbangkan antara pengembangan teknologi revolusioner AI tetapi dengan mengontrol konten.
Peraturan pemerintah China bukanlah hal baru karena China selalu memberikan peraturan yang ketat. Sebelumnya, pemerintah China juga telah mengeluarkan regulasi terbaru yang mengharuskan perusahaan memiliki waktu 10 hari kerja untuk mendaftarkan produk mereka ke otoritas China setelah diluncurkan.
"Kami akan mengontrol dan menyensor informasi yang dibuat oleh AI sepenuhnya dan mewajibkan semua perusahaan untuk mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari pihak berwenang," kata seseorang yang dekat dengan rencana CAC, dikutip dari Financial Times.
China ingin merespons munculnya sistem AI generatif dengan cara mereka sendiri. Menurut rancangan peraturan yang dikeluarkan pada April, konten harus "mewujudkan nilai-nilai inti sosialis" dan tidak boleh berisi apa pun yang "merongrong kekuasaan negara, mendukung penggulingan sistem sosialis, menghasut untuk memecah belah negara, atau merongrong persatuan nasional".
Baidu dan Alibaba juga telah melakukan kontak dengan regulator selama beberapa bulan terakhir untuk memastikan AI mereka tidak melanggar aturan.
Direktur CAC Zhuang Roq mengatakan China khawatir dengan data yang digunakan dan China ingin memastikan pengembangan AI aman dan dapat dikontrol.
Sementara itu Uni Eropa telah mengusulkan beberapa peraturan AI super ketat di dunia, yang memicu protes dari perusahaan dan eksekutif di wilayah tersebut, sementara AS telah mendiskusikan langkah-langkah untuk mengendalikan AI. Sedangkan Inggris saat ini telah melakukan sebuah tinjauan pada teknologi AI.
Ketakutan Pengusaha
Mayoritas perusahaan mengkritisi dan menuliskan nota protes terhadap rancangan undang-undang (RUU) artificial intelligence (AI) di Uni Eropa karena dapat membahayakan daya saing dan kedaulatan teknologi Eropa.
Nota protes itu ditandatangani oleh Yann LeCun, yang bekerja di Meta termasuk para eksekutif perusahaan lainnya seperti perusahaan telekomunikasi Spanyol Cellnex, perusahaan perangkat lunak Perancis Mirakl, dan bank investasi Jerman Berenberg, demikian Reuters melaporkan.
Sebelumnya, anggota parlemen Uni Eropa menyetujui seperangkat aturan RUU AI. RUU itu mengharuskan sistem seperti ChatGPT mengungkapkan konten yang dihasilkan AI, membantu membedakan apa yang disebut gambar palsu dari yang asli, dan memastikan perlindungan terhadap konten ilegal.
Sejak ChatGPT menjadi populer, beberapa surat terbuka telah dikeluarkan untuk menyerukan regulasi AI dan meningkatkan "risiko kepunahan AI". Penandatangan surat sebelumnya termasuk Elon Musk, CEO OpenAI Sam Altman, dan Geoffrey Hinton dan Yoshua Bengio - dua dari tiga yang disebut "ayah baptis AI".
Cedric O, Mantan Menteri Digital Prancis menyatakan pihaknya membidik versi Parlemen Eropa karena mereka memutuskan untuk beralih dari pendekatan berbasis risiko ke pendekatan berbasis teknologi, yang tidak ada dalam teks awal.
RUU itu juga memperingatkan teknologi seperti AI generatif akan diatur secara ketat. Perusahaan yang mengembangkan sistem semacam itu juga akan menghadapi biaya kepatuhan yang tinggi dan risiko kewajiban yang tidak proporsional. Peraturan tersebut dapat menyebabkan perusahaan yang sangat inovatif memindahkan aktivitas mereka ke luar negeri dan investor menarik modal mereka dari pengembangan AI Eropa secara umum.
Source | : | Xinhua |
Penulis | : | Adam Rizal |
Editor | : | Adam Rizal |
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
KOMENTAR