Dengan jumlah pengguna internet dan smartphone yang terus bertumbuh pesat, Indonesia menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi digital tercepat di Asia Tenggara.
Menurut data pemerintah, ekonomi digital nasional menguasai lebih dari 40% pangsa pasar di kawasan Asia Tenggara dan diperkirakan akan mencapai 130 miliar dolar AS pada tahun 2025 dan 315 miliar dolar AS pada tahun 2030.
Memasuki periode keemasan bonus demografi, populasi Indonesia yang masih berusia muda dan cakap teknologi berpotensi menjadi pendorong utama bagi pertumbuhan ekonomi.
Adapun bonus demografi merupakan rentang waktu ketika jumlah kelompok usia produktif lebih besar dibandingkan kelompok usia non-produktif, dan diperkirakan akan mencapai puncaknya pada tahun 2030.
Sehingga, tidak mengherankan bahwa Indonesia menjadi rumah bagi 13 startup dengan predikat unicorn dan berbagai inovator di bidang layanan keuangan digital lainnya, dan angka ini pastinya akan terus bertumbuh ke depannya.
Namun, sejumlah pemberitaan dalam beberapa minggu terakhir sedikit mengkhawatirkan. Beberapa tajuk berita yang menangkap perhatian publik antara lain bocornya ribuan akun dan kata sandi nasabah dari salah satu bank, kasus jutaan data paspor yang dijual di dark web, hingga menjamurnya modus penipuan yang muncul di aplikasi media sosial seperti WhatsApp atau Facebook.
Sebuah studi baru-baru ini oleh F5 dan twimbit menemukan bahwa konsumen Indonesia semakin melihat keamanan sebagai hal yang terpenting dari pengalaman mereka di dunia maya.
Buktinya, 31% konsumen Indonesia lebih memilih pengalaman digital yang aman ketimbang yang tepersonalisasi – melebihi rerata kawasan Asia Pasifik di angka 26%.
Perubahan perilaku ini bukan tanpa alasan. Maraknya penipuan online dan pencurian identitas tidak lagi sekadar momok yang menakutkan, melainkan berpotensi menjadi ancaman nyata yang dapat berdampak serius terhadap kehidupan mereka.
Konsumen pun dengan bijak dan penuh kehati-hatian memilih segelintir saja layanan yang diyakini aman.
Senada, dalam laporan tersebut juga disebutkan bahwa lebih dari 75% pelanggan di kawasan Asia Pasifik akan berhenti mendukung sebuah perusahaan jika terjadi pelanggaran data, dan konsumen saat ini lebih proaktif dalam melindungi informasi pribadi mereka serta akan mengambil tindakan saat terjadi pelanggaran data.
Meski demikian, tidak semua demografi dapat dipukul rata. Dari satu generasi ke generasi lainnya, konsumen memandang keamanan dan personalisasi data dari sudut pandang yang berbeda-beda.
Misalnya, generasi Boomer dan Gen Z cenderung lebih menyukai personalisasi, sementara generasi Milenial dan Gen X cenderung memilih pengalaman yang lebih aman. Menjawab hal ini, perusahaan juga perlu belajar mengenali dan menjawab perbedaan preferensi lintas generasi dan budaya.
Penulis | : | Rafki Fachrizal |
Editor | : | Rafki Fachrizal |
KOMENTAR