Teknologi AI (artificial intelligence) faktanya telah memberikan dampak terhadap lingkungan di perusahaan.
Menurut sebuah studi terbaru dari IBM Institute for Business Value, secara global, para eksekutif di perusahaan memperkirakan bahwa 40% dari tenaga kerja atau karyawan mereka akan membutuhkan pelatihan ulang sebagai dampak dari penerapan AI dan otomatisasi selama tiga tahun ke depan.
Ini berarti sekitar 1,4 miliar orang–dari 3,4 miliar tenaga kerja global menurut Bank Dunia– perlu dilatih ulang dalam waktu dekat.
Studi bertajuk "Augmented work for an automated, AI-driven world" menunjukkan adanya kesenjangan antara eksekutif di perusahaan dan karyawan tentang prioritas di tempat kerja.
Dengan AI yang siap untuk mengambil lebih lebih banyak tugas manual dan berulang, karyawan yang disurvei menunjukkan bahwa keterlibatan dalam pekerjaan yang lebih berdampak adalah faktor utama yang mereka pedulikan di luar kompensasi dan keamanan - lebih penting daripada pengaturan kerja yang fleksibel, peluang pertumbuhan, dan kesetaraan.
Namun, para banyak eksekutif yang belum menyadari fakta ini. Para eksekutif yang disurvei menempatkan pekerjaan yang berdampak sebagai faktor yang tidak terlalu penting bagi tenaga kerja mereka, dan justru menunjuk pengaturan kerja yang fleksibel sebagai hal terpenting di luar kompensasi dan keamanan.
Menanggapi hal ini, Andrian Purnama, Managing Partner, IBM Indonesia, "Meskipun AI terus terimplementasi di hampir seluruh proses bisnis dalam suatu perusahaan, namun tenaga kerja manusia tetaplah menjadi keunggulan kompetitif utama bagi bisnis. Oleh karena itu, sangat penting bagi para eksekutif untuk dapat memimpin dan mengarahkan tenaga kerja mereka dalam melewati pergeseran ini dan memungkinkan mereka untuk sukses dan tetap berkembang di era baru AI generatif.”
"Menjembatani kesenjangan ini sangatlah penting untuk memastikan tenaga kerja memfokuskan energi dan waktu mereka untuk melakukan pekerjaan yang lebih kreatif dan berdampak bagi perusahaan, sedangkan AI and otomasi dimanfaatkan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang berulang dan lebih memakan waktu,” tambahnya.
Menurut para eksekutif yang disurvei, membangun keterampilan baru bagi karyawan yang ada merupakan masalah pengelolaan talenta yang paling utama.
Responden eksekutif menyebutkan bahwa gagap teknologi adalah masalah talenta terpenting kedua, namun hanya 21% karyawan yang mengatakan bahwa kurangnya kecakapan teknis di seluruh tim mereka adalah tantangan utama sehari-hari.
Studi ini juga memberikan rekomendasi tentang bagaimana para pemimpin dapat mengambil tindakan untuk mengatasi tantangan talenta mereka di era AI dan membantu organisasi mereka bertransformasi untuk masa depan, termasuk fokus pada keterampilan dan model operasi.
Studi IBM Institute for Business Value ini dilakukan dengan bekerja sama dengan Oxford Economics. Studi ini mensurvei 3.000 eksekutif C-suite global di 20 industri dan 28 negara dari seluruh wilayah utama pada bulan Desember 2022 dan Januari 2023 mengenai peran pekerjaan, keterampilan, dan bagaimana pekerjaan diselesaikan.
IBM dan Oxford Economics juga mensurvei hampir 370 eksekutif dari Australia, Jerman, India, Singapura, Inggris, dan Amerika Serikat pada bulan April dan Mei 2023 tentang pekerjaan dan keterampilan dalam konteks generative AI.
Penulis | : | Rafki Fachrizal |
Editor | : | Rafki Fachrizal |
KOMENTAR