Sore itu, Red Corner Café di tengah Kota Kotamobagu cukup ramai. Cuaca panas tak menghalangi para pengunjung café untuk duduk-duduk di bangku beton, mengobrol sambil menikmati secangkir hangat kopi Robusta khas Kotamobagu.
Kedai kopi kekinian dengan interior menarik—seperti Red Corner Café—memang sedang menjamur di kota yang terletak di barat Sulawesi Utara ini. Hampir di setiap jalan bisa ditemui kedai kopi, mulai dari kedai kecil dengan beberapa buah bangku hingga kedai kopi besar yang punya area outdoor.
Egie, pemilik Red Corner Café, menceritakan kalau di tahun 2018 hanya ada 5 kedai kopi termasuk miliknya. Namun kini, sudah ada lebih dari 30 kedai kopi; jumlah yang cukup banyak untuk kota kecil ini.
Sebenarnya, kebiasaan minum kopi bukan hal baru di sini. Sejak zaman Belanda dulu, penduduk Kota Kotamobagu sudah memiliki ladang kopi sendiri. Bahkan konon, kopi di sini menjadi barang mahal yang sangat dijaga oleh Belanda. Warga lokal yang berani mengambilnya bisa dihukum mati.
Kepopuleran kopi Kotamobagu disebabkan banyak hal. Menurut para pencinta kopi, produk Kotamobagu memiliki aroma yang wangi, serta tekstur dan rasa yang cukup unik, dan—yang membedakan dengan tempat lain—kopi ini ditanam secara organik. Petani kopi di Kotamobagu tidak menggunakan pestisida dan pupuk kimia, melainkan pupuk alami dari kotoran sapi.
Produk Unggulan
Kopi memang menjadi salah satu potensi unggulan pemerintah Kota Kotamobagu. Dilansir dari situs news.kotamobagu.go.id, hingga kini sekitar 228.75 hektare perkebunan kopi di Kotamobagu yang bisa menghasilkan kopi hingga 0,676 ton per hektare lahan.
Hasil kopi ini dikirim ke berbagai tempat. Namun ada pula pemilik perkebunan yang akhirnya mengolah dan mengembangkan sendiri merek kopi mereka. Setidaknya ada 4 kopi yang terkenal dan sudah memiliki sertifikat organik yakni Mopira, Mojago, Sinodaq dan Dinodoq yang semuanya berasal dari Desa Bilalang I dan Desa Bilalang II.
Ditemui di rumah produksinya, Santi, pemilik Kopi Mojago, menceritakan bahwa ia telah menjalankan usaha kopi sejak 2015. Ia mengaku makin ke sini, seiring semakin populernya kopi Kotamobagu, permintaan semakin meningkat.
“Dulu awalnya hanya roasting 2 kg, sekarang bisa rata-rata 250 kg per bulan,” tukasnya.
Namun seiring meningkatnya penjualan, ia mengaku ada kendala yang ia hadapi terutama masalah bahan baku yang susah didapat. Hal ini juga sempat dituturkan oleh Egie, yang mengatakan bahwa petani masih perlu diedukasi untuk memilah biji kopi yang sesuai tingkat kematangan.
Potensi Kopi Sebagai Branding
Terkenalnya kopi Kotamobagu membuka pintu bagi kota ini untuk menggunakan kopi sebagai smart branding.
“Kalau ada branding akan menarik sekali karena jadi motivasi buat para perajin dan produsen kopi. Bisa juga ditambah dengan paket wisata kopi,” ungkap Santi. Ia juga mengharapkan nantinya pemerintah membuatkan kebun untuk tempat belajar para petani.
Ditemui di ruang kerjanya, Setda Kotamobagu Sofyan Mokoginta mengatakan bahwa Pemerintah Kota Kotambagu terus berupaya mengembangkan kopi ini melalui beberapa cara. Contohnya melakukan budidaya tanaman kopi, pembukaan lahan tanam baru, dan infrastruktur seperti akses ke perkebunan. Pemerintah juga telah bekerja sama dengan Puslitkoka Kabupaten Jember untuk melakukan edukasi kepada para petani kopi serta melakukan tes citrarasa dan tes struktur tanah.
“Hasil tes citrarasa itu, Kopi Kotamobagu mendapat peringkat excellent, dengan perolehan angka di atas 8,” ujarnya bangga.
Bukan Hanya Kopi
Bukan hanya kopi yang ada di Kota Kotamobagu. Ada pula UMKM di Desa Moyag, Kotamobagu Timur yang menghasilkan gula semut aren yang dibuat dari nira. Salah satunya adalah merek Arya Krisna yang dimiliki oleh I Made Mangku.
Kota yang dikelilingi pegunungan ini memang memiliki cukup banyak petani nira. Menurut Made, ada 400 petani nira yang mampu menghasilkan hingga 874,9 ton nira per bulannya. Namun kebanyakan nira tersebut diambil tengkulak atau dibuat gula aren bongkahan dengan harga yang tak terlampau baik. Di tahun 2019, ia lantas mencoba mengolah gula aren ini menjadi gula semut.
“Dengan diolah jadi gula semut, nilai ekonominya meningkat. Harganya yang tadinya 15 ribu per kg sekarang bisa 30 ribu per kg. Masa simpannya juga lebih lama,” ujar Made.
Made mengaku punya banyak kendala, terutama soal edukasi petani yang masih enggan mengolah gula aren mereka menjadi gula semut. “Pemerintah sudah membantu peralatan pengemasan tapi kami masih butuh bantuan edukasi ke petani dan perajin gula aren,” harap Made.
Ia juga masih butuh dukungan promosi walaupun menurutnya saat ini di setiap event pemerintah kota sudah mulai mengenalkan gula semut buatannya. “Bu Wali juga selalu bawa ini ke mana-mana,” tuturnya bangga.
Berbagai usaha memang dilakukan Pemerintah Kota Kotamobagu untuk meningkatkan citra kotanya. Usaha ini pun tercermin dari keikutsertaan mereka di Gerakan Menuju Smart City 2023. Melalui gerakan yang diinisasi Kementerian Komunikasi dan Informatika RI ini, Pemerintah Kota Kotamobagu dibimbing untuk menyusun rencana induk berbasis smart city. Termasuk, meningkatkan citra kota melalui pendekatan smart branding.
Dengan pendekatan seperti itu, semoga saja kopi dan gula aren Kotamobagu akan semakin terkenal di pasar lokal maupun internasional.
Penulis | : | Wisnu Nugroho |
Editor | : | Wisnu Nugroho |
KOMENTAR