Sejumlah peneliti terkemuka dalam bidang artificiaI intelligence (AI) atau kecerdasan buatan, termasuk tiga pemenang Penghargaan Turing dan seorang penerima Hadiah Nobel, pada 24 Oktober lalu, mendorong perusahaan dan pemerintah yang terlibat dalam riset dan pengembangan AI untuk mengalokasikan sepertiga dari dana investasi untuk memastikan keamanan dan penggunaan etis teknologi AI.
Para peneliti AI itu juga meminta pemerintah mewajibkan perusahaan harus bertanggung jawab atas kerugian yang dapat diprediksi dan dicegah dengan wajar akibat penggunaan sistem AI. Saat ini, belum ada regulasi keamanan AI, dan upaya Uni Eropa untuk mengesahkan regulasi AI masih dalam proses negosiasi.
"Pengawasan demokratis perlu segera diterapkan mengingat AI berkembang sangat cepat," kata Yoshua Bengio, Salah Satu Tokoh Kunci dalam penelitian AI tersebut seperti dikutip Reuters.
Makalah tersebut dirilis seminggu sebelum AI Safety Summit internasional di London, dan mencantumkan langkah-langkah yang seharusnya diambil oleh pemerintah dan perusahaan untuk mengatasi risiko-risiko AI.
Beberapa penulis laporan ini meliputi Geoffrey Hinton, Andrew Yao, Daniel Kahneman, Dawn Song, dan Yuval Noah Harari. Ada juga perdebatan tentang penghentian pengembangan sistem AI yang kuat selama enam bulan, dengan beberapa perusahaan berpendapat bahwa regulasi dapat menghambat inovasi mereka lebih dari yang diatur pada industri lain.
"Investasi keamanan AI perlu dilakukan dengan cepat, karena AI berkembang jauh lebih cepat daripada tindakan pencegahan yang diambil," kata Bengio.
Sejak model AI generatif dari OpenAI sukses mengguncang pasar, para akademisi terkemuka dan CEO ternama seperti Elon Musk telah memperingatkan tentang risiko-risiko AI. Mereka menyerukan untuk menghentikan pengembangan sistem AI yang kuat selama enam bulan.
Lancarkan Serangan Siber
Meskipun warganya terisolasi dari dunia luar, pemerintahan Korea Utara menggunakan teknologi artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan untuk melancarkan serangan siber yang dapat mengancam keamanan negara lain.
Serangan siber yang dilakukan Korea Utara mencakup berbagai target, mulai dari pemerintah, bisnis, hingga individu.Tentunya, penggunaan AI akan membuat serangan siber itu lebih canggih dan efektif serta mempersulit upaya pertahanan terhadap ancaman semacam itu.
Salah satu pertanyaan yang muncul adalah terkait dengan infrastruktur yang digunakan oleh Korea Utara untuk mengembangkan AI ini. Apakah mereka mengembangkan perangkat pendukung AI secara mandiri, ataukah menjalin kerja sama rahasia dengan perusahaan kecerdasan buatan global?
Korea Utara, yang dikenal karena sejarahnya dalam meretas Korea Selatan demi keuntungan sendiri, menjadi ancaman nyata di ranah dunia siber seperti dilansir Gizmochina,
Dengan penggunaan teknologi AI dalam serangan siber, negara-negara lain diharapkan meningkatkan langkah-langkah keamanan siber mereka sebagai respons terhadap ancaman ini.
Curi Bitcoin
Para peretas Korea Utara alias Korut dilaporkan mencuri aset kripto bitcoin, senilai 316,4 juta dolar AS atau sekitar 4,4 triliun rupiah antara 2019 dan November 2020 dari lembaga keuangan dan tempat penukaran mata uang digital.
Dana pencurian Bitcoin itu digunakan untuk mendanai program nuklir dan rudal balistik milik Korea Utara. Korea Utara diyakini masih terus memproduksi bahan fisi untuk nuklir, merawat fasilitas nuklir, dan mengembangkan infrastruktur rudal balistik milik mereka.
Hal itu terungkap dari dokumen rahasia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang memang ditugaskan untuk memantau hal itu. Korea Utara memang sudah bertahun-tahun diketahui berusaha mengembangkan senjata nuklir miliknya. Walaupun mendapat banyakan tekanan dari banyak pihak, termasuk PBB, Korea Utara tetap bergeming.
Pada 2017, Korea Utara telah melakukan uji coba rudal balistik antarbenua. Alhail, Dewan Keamanan PBB segera memberlakukan beragam sanksi ekonomi pada Korea Utara seperti larangan berpergian dan pembekuan aset pejabat Korea Utara, larangan ekspor hasil bumi, larangan ekspor barang-barang Korea Utara, membatasi impor bensin, dan mengharuskan warga Korea Utara yang bekerja di luar negeri pulang ke kampung halaman.
Sejak menerima banyak larangan itu, Korea Utara agaknya kesulitan mendapatkan pemasukan negara. Peretasan boleh jadi menjadi alternatif negara untuk mendapatkan pemasukan.
Sebagaimana dihimpun dari SCMP, Korea Utara mengerahkan ribuan pasukan peretas terlatih untuk menyerang perusahaan, institusi, dan peneliti di Korea Selatan dan di tempat lain. Pasukan hacker Korea Utara mengumpulkan pemasukan dengan menyerang bursa mata uang kripto. Hal ini mengingat harga Bitcoin dan mata uang kripto lainnya tengah melonjak.
Kemampuan Korea Utara dalam melancarkan cyberwarfare pertama kali mengemukan pada 2014 silam. Ketika itu, Korea Utara dituduh meretas rumah produksi film Sony Pictures Entertainment, sebagai balas dendam atas film satir yang mengejek Kim Jong Un, The Interview.
Sebelum kasus pencurian uang kripto kali ini, Korea Utara juga pernah dituduh sebagai dalang di balik pencurian besar-besaran senilai 81 juta dollar AS (kira-kira 1,1 triliun rupiah) dari Bank Sentral Bangladesh, serta pencurian 60 juta dolar AS (sekitar 838 miliar rupiah) dari Bank Internasional Timur Taiwan.
Baca Juga: Saingi ChatGPT, Chatbot AI Google Bard Kedatangan Dua Fitur Terbaru
Baca Juga: Teknologi AI Bikin Kemampuan Google Maps Lebih Interaktif dan Pintar
Source | : | Reuters,Gizmochina |
Penulis | : | Adam Rizal |
Editor | : | Adam Rizal |
KOMENTAR